Refleksi 66 Tahun Muna
Pagi Jumat yang dingin. Rinai hujan deras mengguyur. Hari ini 4 Juli 2025, usia Kabupaten Muna menyentuh angka 66 tahun. Hitungan ini dimulai berdasarkan landasan yuridis diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1959 Tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi.
Bagi PNS itu telah lama pensiun. Antiklimaks produktivitas. Ibnul Jauzi, membakukan fase itu adalah masa tua. Bahkan sejatinya Rasulullah S.A.W pernah bersabda “Masa penuaian umur umatku dari 60 hingga 70 tahun”. (HR. Muslim & Nasa-i).
Pada fase ini manusia mulai banyak pantangan makan. Tenaga berkurang, juga penghasilan. Tapi tentu beda bagi sebuah peradaban. Usia ini adalah masa yang cukup untuk menapak era keemasan.
Teori Ashobiyah Ibnu Khaldun menangkap gejala, bahwa di fase 40 tahun ke atas muncul generasi pembangun. Pada generasi ini sebuah teritori memasuki masa kejayaannya. Bagi saya ini teori sekaligus doa. Semoga Muna demikian.
Muna adalah salah satu kabupaten tua di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sejak didirikan Tahun 1959 dengan 4 distrik (baca : ghoera) dan dipimpin oleh Bupati pertama La Ode Abdoel Koedoes.
66 tahun adalah fase yang cukup untuk mengguratkan pelajaran dalam torehan sejarah. Dari sana kita meramu asa dalam tindakan nyata. Memproyeksikan masa depan dengan cermat. Inilah kesempatan bagi generasi hari ini. Seperti kata Otto von Bismarck, yang utama adalah membuat sejarah, bukan menulisnya.
Dalam sejarah, ilmu pengetahuan membakukan The Big People Theory, yakni sejarah selalu menceritakan tokoh besar. Inspirasi-pemikiran mereka ibarat pohon. Yang kemudian tumbuh menjalar-cabang dalam jejak-jejak peradaban. Dikembangkan dalam laku pembangunan.
Tak bisa dipungkiri, beberapa kepemimpinan Bupati pernah mengantarkan Muna memasuki fase keemasan. Ada banyak konsep futuristik yang mereka lakukan-melampaui jamannya.
Sebagai bahan refleksi, generasi hari ini perlu mengenang nan wajib belajar dari bagaimana api sejarah terbentuknya Kabupaten Muna. Bukan membangga-banggakan abu sejarahnya saja. Bahwasanya ada cucuran keringat, tetesan darah bahkan gelimpangan nyawa yang jadi sumbunya. Fase perjuangan pasca kemerdekaan tercatat. Di masa pemerintahan Raja Muna La Ode Pandu begitu berdinamika.
Jelas terdapat jejak perjuangan pahlawan nasional di Muna. Tokoh yang terlibat adalah L.M Idrus Effendi dkk, dalam gerakan Kelaskaran Batalyon Sadar yang sebelumnya bernama Barisan 20.
Beberapa kali terlibat pertempuran fisik dengan Belanda. Lipatan sejarah kepahlawanan yang otentik. Bukan pseudohistori. Saya selalu berharap, tokoh ini jadi pahlawan nasional. Diikat sebagai simbol. Agar tiap generasi belajar, bahwa kita orang Muna adalah petarung yang melawan penjajah. Seperti penggalan falsafah yang dicetuskan Raja Muna Sugi Manuru ; Fetangka Badha Fetangkagho Liwu (baca : nasionalisme).
Penting memang mengikat semangat kolektif dalam sebuah simbolitas. Ini persoalan nirmateri yang jarang disadari. Padahal ada sifat esensial dalam pola pembangunan karakter masyarakat. Terkini kita bisa melihat Monumen Marsda TNI La Ode Barhim. Sebagai sosok orang Muna yang gagah berani, menggaungkan cita-citanya, merengkuhnya setinggi langit.
Sejarah di fase selanjutnya, lebih bercorak diplomasi. Status pembubaran anderafdeling Buton dan Laiwoi tidak lantas menaikkan status pemerintahan Muna menjadi Kewedanan. Kondisi politik saat itu sangat tidak mendukung.
Hal itu kemudian diperjuangkan sengit oleh beberapa tokoh masyarakat saat itu, yakni La Ode Ado, La Ode Rasyid, Supu Yusuf dlln. Di jamannya, mereka adalah diplomat ulung. Militan, cerdas dan pemberani.
Banyak manufer politik yang dilakukan hingga akhirnya Kabupaten Muna resmi berdasar Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Ditandai dengan empat distrik, yakni Tongkuno, Kabawo, Lawa dan Katobu, dengan Ibu Kota Kabupaten di Raha. Inilah rujukan hari ulang tahun Kabupaten Muna yang kita peringati saat ini.
Bupati pertama Kabupaten Muna diangkat pada tanggal 2 Maret 1960. Ia bernama La Ode Abdoel Koedes. Bersamaan dengan itu, ditambahkan pula tiga distrik baru, yakni Kulisusu, Wakorumba, dan Tiworo.
Sebagian generasi kekinian mungkin mengenal nama La Ode Abdoel Koedes sebagai nama sebuah jalan-pendakian di daerah Labolu, dalam Kota Raha. Tak banyak yang mengetahui bahwa di masa pemerintahannya yang sesingkat satu tahun terpantik rintisan jalan dan lorong-lorong di Kota Raha.
Bagaimana dengan nama-nama pemimpin selain itu? apakah generasi hari ini mengenangnya dalam ingatan sejarah? sejauh mana mereka terinspirasi?
**
Merefleksi 66 tahun adalah bukan persoalan seremonial belaka. Spirit dari itu harusnya mengalir dalam laku membangun tanah yang diberkati ini. Siapa lagi kalau bukan kita, generasi hari ini. Pertanyaan menariknya adalah bagaimana dengan Kabupaten Muna hari ini?
Dalam angka-angka statistik, harus diakui beberapa Kabupaten lebih muda mengungguli Muna. Seliweran potensi SDA & SDM yang tersebar di 22 Kecamatan, 26 kelurahan, 124 Desa, notabene harus terus dimaksimalkan dengan inovasi-investasi.
Agaknya mainstream jika melihat keberhasilan dari Pembangunan fisik belaka. Indikator tersebut bukan tunggal, terlebih perlu kajian mendalam kaitannya dengan asas kemanfaatan. Di masa lalu banyak infrastruktur harus diakui dibangun dengan proyeksi yang mengernyitkan kening. Debatable.
Berbicara pembangunan notabene hal yang juga penting adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Berbicara IPM, ia mencakup tiga indikator, yakni pertama, umur panjang dan sehat, kedua pengetahuan dan ketiga, kehidupan yang layak.
Tiga hal tersebut memiliki pengertian yang sangat luas sehingga butuh kebijakan yang tersinkronisasi, lintas sektor, juga vertikal. Kita beruntung dengan adanya kampus-kampus swasta di Muna. Akhir-akhir ini dampaknya mulai terlihat. Soal pendidikan, orang Muna menganggap sebagai harga diri. Orang tua bisa saja bertani, tapi anak jadi profesor.
Dari tahun ke tahun, IPM kita terjadi peningkatan. Meskipun dalam tataran Sulawesi Tenggara, kita berada di posisi ke tujuh. Beberapa DOB mulai menyalip kita. Banyak hal yang harus dibenahi. Dan itu harus ditapaki dengan optimisme. Daerah Konawe Selatan, Bombana, Konawe Utara gencar menggelontorkan beasiswa untuk mahasiswanya. Itu contoh yang baik.
Segudang permasalahan harus dipahami secara empirik. Muna harus dilihat dari Muna. Bukan dijustifikasi dari Jakarta belaka. Masalahnya tidak bisa digeneralisir. The evil always comes from details. Tidak sedikit orang Munadi luar sana kerjanya hanya mengutuk, membandingkan tidak Apple to Apple dengan daerah rantauannya. Anehnya malah tidak pernah berkontribusi. Jika kita mencintai kampung ini, kita harus bertanya apa yang kita berikan? Sejauh mana usaha kita untuk daerah?
**
Secara faktual Muna termasuk daerah agraris. Dalam basis ilmu sosiologi, masyarakat agraris besar kemungkinan mengembangkan stratifikasi sosial. Ini menurut pendapat Gould (1960).
Di Muna kenyataannya seperti itu. Ada stratifikasi sosial yang hidup. Dengan hati-hati saya menganggapnya sebagai pembagian peran ; pemaknaan historisnya seperti itu. Meski tidak sedikit yang tidak membedakan makna antara stratifikasi dan diferensiasi. Hingga selalu menganggap generasinya adalah trah murni. Hanya kelompok itu yang cocok jadi pemimpin. Padahal ini adalah gejala sosial. Yang terlanjur jadi stereotip.
Karena pada prinsipnya semua manusia dilahirkan secara sama sederajat. Meski dalam basis nilai-nilai yang hidup, itu berubah karena status ; penguasaan alat produksi/modal. Tidak ada manusia yang terlahir mulia.
Dalam masyarakat tipe agraris ada ciri esensial yang menonjol, yakni tingkat perubahan teknologi yang relatif lambat. Jika kita telisik lebih dalam, berkoherensi fakta yang ada di Muna selama ini. Kita lambat dalam memanfaatkan teknologi pertanian. Penyuluh datang malah diajar balik.
Bagaimana tergambar kontras dengan globalisasi yang demam dengan kondisi disrupsi. Faktualnya, dunia dalam hegemoni revolusi Industri 4.0 yang digagas Jerman atau Society 5.0 yang diluncurkan oleh Jepang dalam kebijakan politiknya. Masifnya Artifisial Intelegence pun sudah merangsek ke teknologi pertanian. Muna bahkan surplus profesor pertanian. Produk ilmiah mereka bisa jadi bahan merumus kebijakan.
Meskipun lahir dari basis masalah yang berbeda, namun gejala sosial telah nyata. Bahwa nilai teknologi itu akan mendominasi praktis kehidupan ke depan dalam berbagai aspek. Artifisial Intelegence mengikis peran-peran manusia.
Tapi teori tetaplah teori. Itu pemampatan fakta. Bisa jadi resep perubahan bagi yang memaknainya dengan cermat. Goethe – Filsuf Jerman bahkan sudah mengingatkan bahwa teori adalah pilihan yang memaknai realitas. Realitas itulah yang terus hidup dan bergerak.
Identitas manusia tak pernah final. Percakapan sosial akan menimpanya menjadi apa dan bagaimana. Inilah yang membutuhkan perubahan. Menurut pakar manajemen Rhenald Kasali itu dimulai dari manusia-manusianya. Sejalan dengan Thomas Chandler Haliburton, yang mengatakan bahwa kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pola pikir manusianya.
Kondisi faktual kita cukup berat. Beban APBD dalam membiayai pegawai mencapai 67%, belum lagi utang dana PEN 42 Milyar per tahun. Mandatory Spending membatasi ruang gerak belanja. Diperparah dengan efisiensi yang diperpanjang hingga 2026. Ruang fiskal kita sangat sempit. Ini kondisi yang rumit.
Bupati hari ini memahami, pentingnya kemandirian fiskal atau keuangan daerah untuk membiayai pembangunan di Kabupaten Muna. Tanpa harus tergantung sepenuhnya dengan keuangan pemerintah pusat. Itu diungkapkan dalam visi-misi Bahtera. Sebuah konsep Industrialisasi JATI.
Industrialisasi JATI yang dimaksud adalah jagung, hortikultura, ternak dan ikan. Pengelolaannya diubah. Dari skala upaya usaha tradisional menuju skala upaya usaha modern yang memiliki nilai tambah. Dengan dukungan Bumdes ini bisa disemai. Terlebih kedepan akan dibentuk BUMD aneka usaha, sebagai wadah, transformator agar petani, peternak, nelayan meningkatkan nilai produktivitasnya. Tentu banyak tantangan dan hambatan. Namun setidaknya konsepnya sudah jelas, mau diapakan dan dibagaimanakan potensi yang ada.
Sumber daya alam Muna sangat melimpah. Potensi pertanian cukup besar. Dari pijakan sejarah, kultur dan potensi, pertanian memang tidak membuat kita kaya seperti pertambangan (yang membuat kaya sekelompok). Tapi, pertanian selalu membuat cukup untuk mensejahterakan banyak orang. Program Bupati hari ini yang terangkum dalam Industrialisasi Jati adalah titik, yang harus dimaksimalkan seluruh stakeholder.
Di sisi lain, ada sektor potensial. Yakni minyak dan aneka pertambangan mineral non logam di Muna bagian Timur dan Muna bagian Utara. Pariwisata di Muna bagian Tengah. Butuh sentuhan yang lebih enerjik dan kreatif untuk mengelola potensi ini. Sepanjang patuh terhadap tata ruang dan wilayah semua hasil bumi di Muna ini harus dimaksimalkan. Meskipun memang secara substansi Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang RTRW Muna sudah harus segera disesuaikan.
Untuk memulai perubahan, kita membutuhkan ide besar yang brilian. Namun ide saja tidak cukup, untuk tanah yang kita cintai ini. Tak akan ada gunanya tanpa satu gerakan yang nyata. Dan gerakan itu harus dimulai, secara pasti dari langkah-langkah kecil, meskipun perlahan.
Melalui momentum ini, kita refleksikan melalui bertindak produktif-bersama membangun Muna. Kembali ke Pandehao Wuto. Lalu bergerak secara dapoangka-angkatawu, dapomasi-masigho, dapopia-piara. Kita butuh kesungguh-sungguhan membangun yang dilandasi dengan rasa cinta pada Witeno Wuna ini.
Penulis:
La Ode Muhram Naadu
Ketua KNPI Kabupaten Muna
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.
Tinggalkan Balasan