KENDARI – Selain nikel, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), juga memiliki komoditas strategis lainnya sesuai pada peta jalan Hilirisasi Invesasi Strategis (HIS) yakni aspal Buton.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sultra, Parinringi menjelaskan, saat ini aspal buton merupakan produk yang diproyeksikan dapat bersaing dengan aspal minyak di pasar.

“Namun, produksi aspal buton hanya mencapai 30 persen dari kapasitas terpasang, sehingga belum dapat menjadi substitusi impor produk aspal minyak,” kata Parinringi dalam keterangannya

Di sisi lain, impor aspal justru tumbuh berturut-turut sebesar 6 persen pada Tahun 2022 dan 15 persen pada Tahun 2023.

Hingga saat ini, sebesar 95 persen dari 5 juta aspal cair yang digunakan masih merupakan aspal impor. Salah satu faktor utamanya dikarenakan harga aspal impor lebih murah US$400 per ton dibandingkan dengan aspal Buton.

Untuk mendorong pemanfaatan aspal Buton, pemerintah telah menerbitkan regulasi mendukung penggunaan produk dalam negeri.

Meskipun demikian, terdapat beberapa tantangan apabila dilihat dari beberapa aspek hukum dan kebijakan, diantaranya adalah belum diterapkannya pelaksanaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi Dalam Rangka Menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.

Lanjut dia, pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2024 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Petunjuk Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) 2023 yang mengamanatkan kewajiban penggunaan aspal Buton.

“Aspal Buton merupakan aspal alam, yang dapat bersaing dengan aspal minyak di pasar. Komoditi ini memiliki luas area sebesar 18.615 Hektar di Indonesia, dengan sumber daya sebesar 576.875.093 ton dan cadangan sebesar 218.326.125 ton,” rincinya.

Lebih jauh dijelaskan, optimalisasi pada komoditas ini berpotensi menciptakan swasembada aspal, yang pada saat ini memang masih didominasi oleh aspal impor.

Namun tantangan yang terjadi dari sisi produksi, perusahaan penghasil aspal Buton memiliki realisasi produksi jauh dibawah kapasitas produksi.

Saat ini investasi kapasitas produksi mencapai 100 ribu ton per tahun, namun kemampuan realisasi produksi hanya mencapai 36 ribu ton per tahun. Sementara itu, dari sisi mutu, kualitas aspal Buton masih tidak konsisten dan terkadang tidak memenuhi standar.

“Hal ini mengindikasi bahwa terdapat permasalahan pada teknologi produksi aspal Buton tersebut,” ungkapnya.

Ditambahkannya, dalam upaya memetakan dampak lingkungan dan sosial dari hilirisasi nikel, serta mengakselerasi dan optimalisasi komoditas aspal Buton, pada tahun 2024 ini, Kedeputian Hilirisasi Investasi Strategis Kementerian Investasi/BKPM melakukan Kajian Dampak, Optimalisasi dan Akselerasi Realisasi Investasi Industri.

“Fokus utama dari kajian ini adalah untuk menganalisis dampak percepatan realisasi investasi, pada industri nikel dan mengoptimalisasi hilirisasi aspal Buton yang meliputi aspek finansial, legal, dan teknis.Secara spesifik, kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan bagaimana hambatan yang dihadapi oleh para pelaku usaha dalam ekspansi atau peningkatan usahanya,” katanya.

Aspek-aspek ini, kata Parinringi menjadi penting dalam mengetahui kebijakan apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah, untuk dapat dengan cepat merealisasikan investasi dan bagaimana kondisi hilirisasi industri aspal Buton setelah dibuatnya Peta Jalan (Roadmap).

**