Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kendari tahun 2021 menyebut jumlah penduduk perempuan di ibu kota Sulawesi Tenggara (Sultra) ini mencapai 173.854 jiwa. Jumlah ini setara dengan 49,6 persen dari total penduduk Kota Kendari yang tercatat sekira 350.267 jiwa.

Dari data BPS Kota Kendari tersebut, penduduk perempuan terbanyak berada di Kecamatan Kendari Barat sebanyak 21.460 jiwa. Sebuah jumlah yang cukup signifikan untuk menggerakkan sosial kehidupan masyarakat.

Salah satu faktor penunjang pembangunan adalah optimalisasi pemberdayaan perempuan. Langkah ini merupakan upaya bagi perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumber daya, ekonomi, politik, sosial dan budaya agar kaum perempuan dapat mengatur dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan serta berpartisipasi aktif sehingga mampu membangun kemampuan diri.

Produktivitas perempuan dalam mendorong pemulihan perekonomian sangat dibutuhkan, termasuk di Kota Kendari. Pemerintah harus hadir dalam pembangunan berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dilakukan melalui program pemberdayaan berupa pengembangan keterampilan masyarakat atau komunitas. Perempuan harus memperoleh hak yang sama di segala bidang kehidupan masyarakat.

Saya melihat di Kota Kendari, kaum perempuan berjibaku mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan caranya masing-masing. Ada yang berjualan kecil-kecilan sekelas UMKM. Ada yang berbisnis pada level lebih tinggi. Ada yang bekerja di pabrik dan kantoran. Ada yang menjadi pegawai negeri dan sejumlah profesi lain. Tentunya mereka perlu mendapat perhatian, bantuan, dan kemudahan dalam melakukan aktivitasnya. Salah satunya dengan bantuan permodalan dan pelatihan.

Melihat dan merasakan itu, saya terpanggil untuk terlibat dalam upaya pemberdayaan perempuan. Salah satu caranya dengan tampil di ranah politik. Tujuannya untuk memperjuangkan ruang bagi kaum perempuan di panggungnya masing-masing. Saya juga mengakui masih rendahnya partisipasi perempuan dalam politik hingga mengakibatkan banyak kepentingan perempuan kurang terakomodasi dengan baik di parlemen.

Kebijakan yang diberlakukan saat ini cenderung menempatkan perempuan sebagai second person (orang kedua) di hampir segala aspek kehidupan. Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik menyebabkan banyak kepentingan perempuan kurang terakomodasi. Untuk itu saya berkomitmen memperjuangkan kaum perempuan agar diberikan ruang yang optimal dalam sistem politik.

Permasalahan pemberdayaan perempuan tidak lepas dari isu kesetaraan gender sehingga pemberdayaan perempuan juga terkait erat dengan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan mewujudkan masyarakat mandiri, mampu menggali dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada di daerahnya serta membantu masyarakat untuk terbebas dari keterbelakangan atau kemiskinan.

Filsuf Perancis Michel Foucault menyebut kehidupan perempuan hanya dibatasi oleh waktu, nafsu, dan tubuh. Dia menyebut perempuan adalah objek keindahan dan laki-laki mendominasi secara fungsional yang hingga saat ini masih terus “digugat” eksistensinya. Peran seorang perempuan dalam masyarakat luas sering dihubungkan dengan pekerjaan sektor domestik sebagai pengurus rumah tangga.

Perempuan selalu dikonotasikan sebagai manusia homemaker atau pekerja domestik yang dinilai tidak dapat berkontribusi secara aktif di luar rumah sehingga perannya tidak lebih dari sekadar aktivitas dalam rumah.

Perempuan dinilai tidak pantas berada di sektor publik. Anggapan masyarakat tersebut memunculkan stigma tentang kaum perempuan yang tidak cocok menjadi pemimpin. Berbeda dengan laki-laki yang tegas, berani, dan cepat dalam mengambil keputusan.

Saya tentu tidak setuju dengan teori Foucault itu. Jelas teori itu sangat ketinggalan zaman jika diterapkan di era saat ini. Zaman now, perempuan tidak lagi hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang menjalankan fungsi reproduksi, mengurus rumah tangga, atau pekerjaan domestik lainnya. Era modern ini, perempuan juga telah memiliki kesadaran tinggi untuk berperan aktif dalam berbagai bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun politik.

Sejak diresmikan sebagai kotamadya melalui Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1995 tanggal 27 September 1995, hingga kini Kota Kendari belum pernah sekalipun dipimpin oleh sosok perempuan. Beberapa kota dan kabupaten lain di Indonesia sudah pernah dipimpin oleh perempuan, termasuk di Sultra, tepatnya di Kabupaten Kolaka Timur. Bahkan Negara Republik Indonesia juga pernah dipimpin sosok perempuan, Ibu Megawati Soekarnoputri. Jadi, tidak akan menjadi masalah jika Kota Kendari pun dipimpin oleh seorang perempuan.

Sudah saatnya perempuan dipercaya dan diberikan ruang untuk memimpin Kota Kendari. Jika saya ditanya terkait itu, tentu dengan tegas saya akan menjawab, ”Siap jadi Wali Kota Kendari!” karena saya mencintai dan menyukai Kota Kendari. **


Penulis:

SITYA GIONA NUR ALAM
Ketua Garda Wanita Malahayati Partai NasDem Provinsi Sylawesi Tenggara


Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca HaloSultra.com, isi dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.