Berayun di Bandul Politik Jokowi
Mengamati perkembangan situasi politik nasional, serta isu-isu yang bergerak mengalir dan terus menjadi “gosip” politik di tengah masyarakat, penting untuk melihat beberapa kejadian yang kemungkinan besar bisa ditafsirkan menjadi bandul politik masa depan Pemilu 2024, khususnya dalam hal pencalonan pasangan pilpres. Setidaknya ada tiga isu mainstream yang akan memperjelas arah dukungan calon presiden 2024.
Pertama, fakta bahwa baru satu partai yang secara resmi mendeklarasikan calon presidennya yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem), yang memilih sosok mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, menunjukkan ada sifat keberanian memilih “jalan baru” bagi Surya Paloh, selaku Ketua Umum Nasdem, dan sekaligus menunjukkan bahwa Nasdem adalah partai yang, paling tidak, saat ini menjadi partai yang paling berani mengambil risiko politik.
Keputusan Surya Paloh berseberangan politik dengan Jokowi adalah penanda paling jelas dari keberanian itu. Pada saat yang sama, masyarakat juga sudah mendapat kejelasan sikap politik Jokowi terkait pilihan Nasdem, yaitu Jokowi tak bisa lagi seiring sejalan dengan Surya Paloh, khususnya dalam Pilpres 2024.
Walaupun, jalan pilpres masih terhitung panjang, tetapi dari berbagai gestur politik yang ditunjukkan oleh Jokowi, sangat jelas, mereka berdua sudah berbeda haluan.
Penanda paling jelas, Jokowi tidak mengucapkan selamat ulang tahun pada hari jadi emas yang ke-11 Partai Nasdem 11 November 2022 lalu, yang kemudian di-blow up oleh para relawan dan pendukung Jokowi.
Kedua, dari tarik ulur rencana deklarasi bersama koalisi tiga partai, Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat yang tidak pernah terealisasi, menunjukkan adanya percakapan di belakang meja, di dapur utama tiga partai tersebut yang belum selesai, dan bisa jadi tidak akan pernah bertemu menu yang cocok yang akan dihidangkan bagi kontestasi politik mereka, yaitu peluang kemenangan.
Saya berkeyakinan, tiga partai ini hampir pasti tidak akan punya kesepakatan politik dalam wujud deklarasi bersama. Tarik ulur calon Wakil Presiden yang akan diusung sesungguhnya hanya faktor bias dari sebuah menu politik yang tidak siap dihidangkan.
Baik Cawapres Demokrat, yang mengajukan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maupun Cawapres PKS yang santer diajukan adalah mantan Gubernur Jawa Barat dua periode, Ahmad Heriawan, adalah kartu mati bagi kemenangan Pilpres 2024.
Dua cawapres itu tidak memberikan kontribusi suara yang signifikan karena basis pemilih yang sama. Dan, Islam kultural dan moderat yang terepresentasi di suara warga Nahdatul Ulama (NU) tidak mayoritas ke mereka. Basis suara dukungan, tanpa mereka berdua maju sekalipun, itu sudah menjadi basis pemilih Anies. Alih-alih, akan menambah suara bagi Anies, justru akan membuat blunder jika dipaksakan.
Ketiga, faktor Jokowi. Faktor inilah yang paling krusial sebetulnya, baik bagi Nasdem maupun bagi dua partai politik lainnya, PKS dan Demokrat dalam menentukan sikap politik akhir.
Mendukung Anies bagi dua partai politik ini adalah semacam berayun di bandul politik Jokowi. Meskipun Jokowi tidak lagi menjadi Presiden pada 2024, tetapi jika mereka kalah karena maju bersama Anies (atau bahkan Anies di detik-detik terakhir pencalonan tidak bisa maju), maka pilihan dua partai ini menjadi semakin sempit.
Mereka tidak bisa ikut menjadi bagian dari pemenang 2024 atau kemudian mendukung pilihan Jokowi, dengan mengesampingkan rasa malu karena telanjur bersikap sebagai oposan untuk Pilpres 2024. Padahal, dua partai ini keliru kalau saat ini mengambil sikap oposan politik bagi yang lainnya dalam konteks Pilpres 2024. Mengapa keliru, karena belum ada pemerintahan untuk 2024.
Harusnya, saat ini semua partai mengambil posisi yang paling memungkinkan mereka menang, tidak penting warna, mau ke merah, ke biru atau kuning atau hijau, sepanjang visi perjuangan politik mereka bisa disatukan.
Mereka harusnya paham bahwa posisi start-nya sama untuk Pilpres 2024, sama-sama mencari dan mengusung pasangan yang paling rasional menang dan paling cocok untuk masa depan Indonesia. Kartu inilah yang sedang dimainkan oleh Jokowi.
Sudah pasti Jokowi akan “memaksakan” calon presiden “All Jokowi Men”. Siapapun pemenang 2024, Jokowi tetap bisa meneruskan “pemerintahannya”. Maka, secara waktu, belum terlambat bagi Nasdem untuk mengajukan judicial review Presidential Treshold ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun sudah berkali-kali gagal saat diajukan pihak lain, tetapi tidak ada salahnya dicoba sekali lagi oleh Nasdem, tentu dengan argumen baru, salah satunya, Nasdem sudah punya Capres yang dideklarasikan secara resmi.
Itu berarti mereka bisa “menggunakan dalil” sebagai pihak yang dirugikan oleh Undang-Undang. Dan, jika benar partai ini mengusung Anies karena ingin melakukan perubahan, inilah perjuangan yang paling nyata untuk rakyat Indonesia, agar kita berkesempatan memilih pemimpin yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat, bukan dibutuhkan oleh partai karena kepentingan elektoral ataupun sekadar ingin berkuasa. Melainkan karena negara dan rakyat memanggil putra terbaik bangsa.
Penulis: Saparuddin Santa Founder Visi Indonesia Consulting
Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca HaloSultra.com, isi dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Tinggalkan Balasan