25 tahun sudah bangsa kita berjalan bersama atas nama Reformasi, namun sejauh ini kok masih saja kita saksikan ibu Sumarsi berdiri di depan Istana tiap kamisan menuntut kejelasan. Reformasi yang belum usai itu masih saja menyisahkan luka, luka yang tiap harinya mengiyang di telinga kita.

Tepat 25 tahun yang lalu, pada tanggal 21 Mei 1998 setelah sekian lama menanggung derita akhirnya rakyat dengan lantang membuktikan kekuatannya.

Dimulainya pada 1 Mei 1998 Indonesia dilanda krisis moneter dengan jatuhnya kurs rupiah yang awalnya 2.200 pada awal tahun jatuh sampai diangka 18.000 dan tepat esok harinya di sidang MPR, Presiden Soeharto digelari Bapak Pembangunan hal yang sungguh sangat memukul rakyat yang menderita.

Hingga mencapai puncaknya saat dibacakan pidato pengunduran diri Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa pada pukul 9 pagi 21 Mei 1998.

Kali ini saya ingin sedikit bersebrangan dengan kawan-kawan, terlepas dari duka yang sering kita suarakan secara kolektif sejak dulu mulai dari penembakan mahasiswa Trisakti, penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi, hingga kasus semanggi 1 dan 2.

Ada hal yang mungkin terlupa diingatan kita selama ini perihal reformasi, bahkan bisa kita katakan hal ini sengaja kita lupakan karena ini bukan duka mayoritas bangsa ini. Yah, duka itu dialami saudara-saudara sebangsa kita dari etnis Tionghoa. Etnis yang dibeberapa kalangan akrab dengan sapaan komunis, kafir, dan masih banyak lagi.

Sedikit bercerita bahwa saat itu mereka juga didzolimi, mereka juga disakiti, mereka juga tidak dimanusiawikan. Ada yang tokonya dijarah, ada yang rumahnya dibakar, ada yang diantaranya dibunuh, ada wanita diantara mereka yang diperkosa tapi semua itu jarang dan asing terdengar di hadapan publik negeri ini dan dalam ingatan sejarah bangsa. Kita dalam mengenali mereka lebih akrab dengan narasi-narasi negatif dibanding semua ingatan perihal kesalahan sejarah itu. Bakar cina, bunuh cina, “whats wrong bro” kita ini sebangsa, pikir mereka saat itu.

Dihadapan negeri yang beragam ini bukan merupakan hal baru, bahwa nilai dari tiap manusia itu juga turut ditentukan dari etnis dan agama apa dia berasal. Mereka yang dari minoritas mau tidak mau, harus siap dengan segala konsekuensinya dihadapan sebangsanya yang lain.

Memang benar, reformasi itu belum selesai. Masih banyak yang belum terwujud, mulai dari lembaga antirasuah yang menjadi semangat reformasi yang kian hari kian diperlemah. Keotonomian daerah yang semakin kesini semakin dipreteli hak otonomnya. Para pelaku pelanggar HAM yang sampai hari ini belum dijuga diadili, bahkan ada diantaranya yang hari ini malah duduk nyaman di Istana rakyat.

Kita masih harus terus berjuang, memperjuangkan bersama apa yang dahulu menjadi cita-cita bangsa kita. Reformasi itu hak segala bangsa, maka ia harus juga turut memperjuangkan hak etnis Tionghoa dan hak-hak etnis minoritas lainnya yang saat itu turut menjadi korban.

Terima kasih atas atensi kawan-kawan semua yang telah meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah ini. Semoga semangat memperjuangkan keadilan untuk etnis Tionghoa yang saat itu juga menjadi korban bisa menjadi semangat kita bersama dalam memperjuangkan cita-cita Reformasi kedepannya.

Panjang umur perjuangan, hidup mahasiswa, hidup seluruh rakyat Indonesia!!


Penulis:
Ardhy Dhikahlil
Mahasiswa Universitas Universitas Halu Oleo


Tulisan ini adalah kiriman dari pembaca, isi dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.