Delapan belas tahun saya berkiprah di industri clothing di Bandung, bersama rekan-rekan pelaku lainnya, yang masih dalam skala UMKM kami membangun dan membina ekosistem industri ini. Sampai ke ratusan kota di Indonesia juga ada yang sampai pasar ekspor.

Kala itu saya ingat sekali bagaimana besarnya harapan kami ke pemerintah untuk turut melindungi UMKM fashion lokal dari terpaan produk fashion impor ilegal. Sejak dulu hingga sekarang, fighting spirit para pegiat UMKM dan jenama lokal masih sama, pantang mengalah dari produk luar.

Maka dari itu, ketika pemerintah sepakat untuk menghentikan impor pakaian bekas, saya melihat adanya harapan untuk dapat memacu produk UMKM supaya lebih unjuk gigi. Kami (berusaha) tidak mau kalah dengan barang (bekas) dari luar.

Namun, bicara perihal thrifting pakaian bekas impor, ternyata memang perlu dilihat secara luas. Masyarakat Pertekstilan Indonesia berpendapat thrifting memicu terjadinya impor tekstil dan pakaian jadi secara ilegal dan underpriced, sehingga tidak memberikan peluang yang sama (equal playing field) terhadap produsen dan produk tekstil Indonesia.

Selain itu, impor pakaian bekas bisa menimbulkan masalah lingkungan seperti kejadian di Gurun Atacama, Chile yang setiap tahunnya menerima 59.000 ton pakaian bekas impor dari negara-negara Asia, Amerika, dan Eropa. Hanya 20.000 ton yang laku dijual kembali dan sisanya menjadi sampah.

Sehingga narasi bahwa thrifting pakaian bekas impor merupakan bentuk ekonomi sirkular adalah pernyataan yang kurang tepat dalam konteks ini. Sebab, ada dampak lebih besar jika impor pakaian bekas dibiarkan.

Impor pakaian bekas bermerek juga mengancam jenama atau brand lokal yang banyak dikembangkan UMKM kita. Padahal, melindungi produk UMKM Indonesia dari segala bentuk ancaman, sembari terus mendampinginya bertumbuh membesar adalah ikhtiar bangsa ini dalam melindungi pilar ekonomi terkuatnya. Semua sudah sepakat bahwa UMKM Indonesia merupakan porsi terbesar formasi pelaku usaha di Indonesia, yaitu 99,7 persen, sebagai penyerap terbesar tenaga kerja di Indonesia hingga 97 persen, dan kontributor atas 60,5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional.

Magnitudo sekuatnya angka-angka di atas mengindikasikan bahwa tantangannya pun multidimensional, tidak hanya dari satu sumber, dan tidak akan bisa tersolusikan hanya dengan satu intervensi, program, kebijakan, atau pendekatan.

Maka dari itu, perihal thrifting ini bukanlah upaya mengusik warga penggemar kultur berbelanja barang bekas. Ini adalah bagian dari konstelasi besar upaya bersama dalam melindungi dan menumbuhkan UMKM Indonesia, pahlawan ekonomi bangsa ini.