KENDARI – Tradisi Mo’oli telah dilakukan turun temurun dari leluhur  masyarakat Suku Tolaki yang mendiami jazirah Sulawesi Tenggara (Sultra).

Dalam bahasa Tolaki, “Mo’oli” dapat diartikan “membeli”. Namun dalam pemaknaannya pada budaya dapat diartikan sebagai “upaya untuk berkompromi dengan makhluk-makhluk astral penguasa yang gaib”.

Dalam tulisan Chaerul Sabara di Kompasiana, tradisi Mo’oli sebenarnya adalah prosesi spritual kuno yang dimaksudkan sebagai jembatan atau penghubung dengan para jin atau o’wali dalam bahasa daerah Tolaki.

O’wali atau jin yang dipercaya menghuni tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat oleh masyarakat seperti hutan dengan pohon-pohon besar, gunung atau bukit serta sungai dan laut, yang tentu saja atas seizin “dewa” dalam kepercayaan orang Tolaki di masa lalu.

Orang Tolaki kuno sebelum masuknya agama Islam menyandarkan kepercayaan mereka kepada para Dewa yang mereka sebut Sangia. Sangia itu ada 4 yaitu Sangia Mbuu (Maha Dewa), Sangia Ipuri Tahi (Dewa Laut/air), Sangia Ipuri Wuta (Dewa Daratan), Sangia Mbongae (Dewa Petaka/pembawa penyakit).

Baca Juga:  Pansel Umumkan Hasil Akhir Seleksi Terbuka JPT Pratama Sekda Kendari

Oleh karena itu dalam prosesi Mo’oli, setiap mantra pembukanya selalu menyebutkan angka o’aso (satu), ruo (dua), tolu (tiga), omba (empat), dimana secara semiotika simbolik, angka-angka ini mewakili empat Sangia atau dewa.

Msyarakat Tolaki menggelar ritual Mo’oli ini biasanya pada saat ada pembangunan gedung perkantoran, rumah tinggal, jembatan, pembuatan jalan raya dan sebagainya di tempat-tempat yang baru dibuka atau yang dianggap angker atau keramat yang dikuasai oleh mahluk-mahluk halus sebangsa jin atau o’wali.

Tujuannya adalah mengkomunikasikan kepada mahluk astral atau o’wali penguasa wilayah bahwa mereka memohon izin untuk membangun di tempat ini, sekaligus meminta agar para jin yang ada disitu agar pindah ke tempat lain atas seizin para Sangia, dengan kompensasi sesembahan yang disiapkan oleh dukun pemimpin pelaksana ritual (Mbuakoi) dan dua orang asistennya (Posudono Mbuakoi yang dianggap mampu melihat dan berkomunikasi dengan jin).

Baca Juga:  Orang Tua Korban Begal di Pantai Batu Gong Laporkan Pria yang Bawa Anaknya

Harapannya adalah apa yang dibangun maupun dikerjakan akan berjalan dengan lancar dan tidak terganggu oleh mahluk astral tersebut.

Prosesi ritual Mo’oli juga dilakukan oleh masyarakat Tolaki, ketika ada orang hilang yang dipercaya oleh masyarakat disembunyikan atau diambil oleh penunggu suatu tempat yang dianggap keramat. Entah itu di hutan, sungai, di laut atau di gunung-gunung yang diangap keramat.

Setelah Mo’oli dilakukan, penduduk akan memukul gong sambil mencari orang hilang yang dianggap telah disembunyikan oleh jin. Baik dalam keadaan masih hidup ataupun sudah mati, agar jin yang menyembunyikan segera menampakkannya.

Properti yang disiapkan sebagai kompensasi sesajen upacara Mo’oli adalah pakaian pria satu pasang, kopiah (topi), sarung, daun sirih, buah pinang yang dibelah empat, tembakau yang digulung menggunakan daun palem hutan yang dalam bahasa tolaki disebut wiu. Juga koin dan emas-emas untuk menarik perhatian para jin agar datang ke tempat upacara ritual Mo’oli.

**/rl