Wisata Religi Makam Sangia Wambulu, Tokoh Islam Zaman Kesultanan Buton
BUTON TENGAH – Selain pesona wisata seribu gua, Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Sulawesi Tenggara (Sultra) juga mempunyai objek wisata religi, yakni makam Sangia Wambulu.
Makam Sangia Wambulu ini berada di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu, Buton Tengah yang saat ini ditetapkan sebagai salah satu desa wisata di daerah itu.
Sangia Wambulu merupakan salah satu tokoh agama Islam di zaman Kesultanan Buton. Sangia Wambulu disebut memiliki nama asli La Ode Ali yang juga merupakan putra Buton pertama yang menjadi imam di Masjid Agung Keraton Kesultanan Buton.
Imam Makam Sangia Wambulu, Hamzah bercerita, Sangia Wambulu dikenal memiliki pemikiran yang luas, sehingga ia hendak diberi jabatan oleh Kesultanan Buton, namun ditolaknya karena ia tidak mau jabatan itu menjadikannya terkenal dan disanjung. Hingga akhirnya Sangia Wambulu pun bersembunyi di hutan belantara.
Sebelum wafat, Sangia Wambulu berwasiat agar makamnya dirawat dan diziarahi dua kali seminggu, yakni setiap Rabu dan Jumat usai salat asar.
Menziarahi makam Sangia Wambulu disarankan untuk melakukan ritual. Ritual ziarah yang dimaksud, yakni membaca Al Fatihah, lalu Al Ikhlas 100 kali, kalimat tahlil 100 kali, selanjutnya berdoa untuk keselamatan arwah serta keselamatan satu kampung agar terus dilindungi oleh Allah SWT.
Ritual ziarah ini, jelas Hamzah, hanya boleh dilakukan oleh dirinya selaku imam sekaligus garis keturunan ke-8 Sangia Wambulu. Selain dirinya, juga bisa dilakukan oleh Kabolosi, yaitu perempuan yang menjaga dan merawat makam Sangia Wambulu beserta perangkatnya sebanyak sepuluh orang janda yang rerata berusia tua.
Uniknya, untuk memasuki kawasan makam, pengunjung harus mendapatkan izin dari penjaga dan diantar langsung oleh Kabolosi ini.
Kabolosi, kata Hamzah, tidak boleh ke mana-mana, hidupnya hanya berada di makam Sangia Wambulu.
Salah seorang Kabolosi makam Sangia Wambulu bernama Kudusia sudah berumur sekitar 64 tahun. Aktivitasnya sehari-hari hanya di kawasan makam, seperti memasak yang dilakukannya bersama sepuluh orang janda lainnya.
“Kabolosi itu artinya silih berganti. Jika ada yang meninggal maka orangnya diganti dari keturunannya. Perangkatnya pas 10 orang janda, tidak boleh lebih dan kurang. Imam juga begitu jika meninggal yang ganti harus garis keturunannya,” terang Hamzah.

Tak ada yang tahu pasti kapan Sangia Wambulu wafat, namun menurut cerita orang tua dulu, ia wafat sekitar 300-an tahun lalu.
Kawasan makam Sangia Wambulu memiliki luas sekitar 300×300 meter. Di dalam kawasan ini terdapat makam pengikut Sangia Wambulu. Di kawasan ini juga tumbuh pohon besar yang diperkirakan sudah berusia puluhan tahun.
Untuk sampai ke kawasan makam Sangia Wambulu ini, dari Kota Baubau membutuhkan waktu satu jam perjalanan, baik laut maupun darat. Sedangkan dari Labungkari juga bisa ditempuh satu jam perjalanan darat, baik roda dua maupun roda empat.
Makam Sangia Wambulu Dikunjungi Wisatawan Asing
Tak hanya orang Indonesia, ada juga wisatawan asing dari Turki dan Arab datang berkunjung ke makam Sangia Wambulu.
Dikatakan Hamzah, wisatawan yang datang berziarah biasanya menyumbang sesuai keikhlasan. Sumbangan itulah yang digunakan Kabolosi untuk biaya keperluan ziarah.
“Biasanya banyak yang datang selepas hari raya,” kata Hamzah.
Tak sedikit yang menyebut ziarah ke makam Sangia Wambulu sebagai perbuatan syirik, namun Hamzah menegaskan, pihaknya sama sekali tidak menduakan Tuhan. Ia hanya menjalankan wasiat.
“Mereka yang datang juga murni untuk ziarah. Kita juga tidak meminta apa-apa di makam, hanya berdoa,” ujarnya.
Ke depan jika pemerintah daerah maupun pemerintah desa hendak menjadikan makam Sangia Wambulu sebagai objek wisata religi, Hamzah berharap tak ada yang diubah, misal menebang pohon-pohon besar yang ada di kawasan makam. Kelestarian alam juga harus tetap dijaga.
“Jika dijadikan wisata adalah pilihan yang terbaik, yah itu saja jangan ada yang diubah dari tempat ini. Saya, kan senang jika banyak yang datang ke sini,” ucap Hamzah. ***
Tinggalkan Balasan