BUTON – Kande-kandea merupakan salah satu tradisi leluhur masyarakat Buton di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang terus dilestarikan sebagai kearifan lokal. Bahkan tradisi Kande-kandea ini pun masuk dalam kalender wisata nasional bertajuk Kharisma Event Nusantara 2023.

Dilansir dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikbudristek), Kande-kandea merupakan tradisi makan bersama yang sangat umum ditemukan pada masyarakat Buton, meski dengan penamaanya yang beragam berdasarkan bahasa etnis yang menggelarnya.

Terdapat tiga etnis yang masih secara rutin melaksanakannya, yaitu etnis Cia-Cia, Muna (Pancana), dan Wolio. Penamaan atas tradisi ini juga beragam sesuai dengan bahasa etnisnya masing-masing, misalnya etnis Muna (Pancana) menyebut kafoma-foma’a, etnis Cia-Cia menyebut maataa, dan etnis Wolio menyebut peka kande-kandea.

Secara umum tradisi kande-kandea yang dilakukan ketiga etnis tersebut merupakan tradisi makan bersama yang melibatkan unsur hiburan dan ritual, serta terdapat interaksi sosial, politik, dan budaya di dalamnya.

Pada zaman dulu, pekande-kandea merupakan tradisi untuk menyambut pulangnya para prajurit Kesultanan Buton dari medan perang. Jika para prajurit tersebut kembali dengan membawa kemenangan, pekande-kandea jauh lebih meriah lagi.

Para gadis akan bersiap dengan makanannya untuk menyuapkannya ke para prajurit yang lelah sebagai penghargaan atas perjuangan mereka di medan perang.

Disamping itu ritual ini merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.

Berbicara mengenai wacana tradisi kande-kandea di Buton, maka akan membahas tentang dua kekuatan yang menghidupinya hingga saat ini, yaitu negara dan adat. Dua kekuatan tersebut mengelola tradisi kande-kandea dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda.

Bagi masyarakat adat Baruta Analalaki (Nama masyarakat adat yang terdapat di Desa Baruta, Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton Tengah) acara ini dilaksanakan secara sederhana, bersifat ritual dan dilaksanakan secara tertutup di rumah adatnya.

Tradisi yang kerap disebut dengan kande-kandea kabolosi ini, hanya dapat dihadiri oleh masyarakat adat dari beberapa desa, yaitu Desa Tolandona, Baruta Analalaki, Baruta, dan Tampuna. Konon mereka merupakan kelompok masyarakat bangsawan Buton yang bermukim di wilayah pesisir.

Tradisi kande-kandea kabolosi melambangkan kesatuan mistis dan sosial masyarakatnya, dengan cara menghadirkan arwah-arwah leluhur di tengah-tengah mereka.

Konsep ritualnya adalah masyarakat mempersembahkan makanan kepada arwah leluhur dan dimakan secara bersama-sama, seperti slametan pada masyarakat Jawa.

Kande-kandea kabolosi meliputi lima rangkaian ritual yaitu ziarah fompua dan dampu, powintahano lima, kande-kandeano fompu’a, kande-kandeano kabolosi dan kadandio.

Dalam perkembangannya, tradisi Kande-kandea dalam bahasa Buton yang juga disebut sebagai Bongkaana Tao yang awalnya adalah sebagai syukuran menyambut para prajurit dari medan perang kini menjadi tradisi menyambut para tamu yang datang ke tanah Buton.

Upacara adat tradisional Kande-kandea dimulai dari saat datangnya mia pata miana atau para pendatang, yang dibuktikan atas adanya acara yang disebut katambi ade di Waborobo yang bertujuan untuk perkenalan silaturahmi antara Sara dan masyarakat Waborobo dengan para pendatang.

Dikarenakan terdapat perkembangan pemikiran dan semakin bertambah pula di tingkat kehidupan masyarakat Kesultanan Buton, akhirnya diputuskan sebuah upacara adat tradisional Kande-kandea dilakukan pada setiap panen kebun sebagai syukuran kepada Tuhan yang maha esa atas adanya rezeki yang melimpah pada masyarakat setiap tahun.