Simposium Nasional, Menkumham Yasonna Harapkan KUHP Baru Hadirkan Keadilan Restoratif
JAKARTA – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menggelar kegiatan meeting Simposium Nasional bertema “Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia yang di laksanakan di Graha Pengayoman, Jakarta dalam rangkaian menuju peringatan Hari Bhakti Pemasyarakatan ke-59, Kamis (13/4/2023).
Kegiatan Simposium tersebut dibuka secara resmi oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) RI, Yasonna H Laoly.
Penyelenggaraan kegiatan itu diikuti oleh jajaran Kemenkumham, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Prof Harkristuti Harkrisnowo, anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, Wakil Menteri Kementerian Hukum dan HAM, Prof Edward Hiariej, para senior dan Forum Pemerhati Pemasyarakatan, perwakilan dari Civil Society Organization, perwakilan dosen dan mahasiswa dari beberapa universitas, serta seluruh peserta Simposium yang hadir secara langsung maupun virtual.
Menkumham RI mengatakan Sila Kelima dari Pancasila adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dia menyampaikan keadilan sosial adalah sebuah posisi mutlak dan tidak dapat ditawar lagi untuk keberlangsungan negara ini.
Saat ini, kata Yasonna, adanya perubahan paradigma yang mengawali sebuah perubahan anak bangsa yang sedang memiliki keresahan yang sama dalam bidang penegakan hukum.
“Inilah sebetulnya yang sedang terjadi pada pagi hari ini, pada Simposium Nasional ini. Sebuah pergerakan anak bangsa yang sedang memiliki keresahan yang sama dalam bidang penegakan hukum. Yaitu mengawal shifting paradigm terhadap mekanisme formal penyelesaian pelanggaran hukum (sistem peradilan pidana) sehingga apa yang menjadi mandate, apa yang menjadi cita-cita, tujuan mulia dari disahkanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 terjadi dan sesuai,” ujarnya.
Lanjut, Yasonna, elalui Undang-Undang Pemasyarakatan dan KUHP maka perubahan paradigma adalah sebuah keniscayaan. Melalui karya anak bangsa tersebut kita telah melakukan penyempurnaan kebijakan pemidanaan di berbagai aspek.
Paradigma pemidanaan ke depan telah mengakomodir keadilan restoratif yang hadir menjadi sebuah alternatif penanganan terhadap suatu pelanggaran hukum.
“Selaras dengan hal tersebut maka pemidanaan kedepan harus mampu menitikberatkan pada upaya untuk memberikan penyelesaian secara berkeadilan dan mencoba memulihkan keadaan seperti semula. Pemidanaan kedepan juga harus mampu dimaknai sebagai upaya memberikan perhatian yang besar pada korban, pelibatan masyarakat dalam upaya penyelesaian perkara, dan mengembangkan tanggung jawab pelaku,” imbuh Yassona.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan, kata Yassona merupakan wajah baru, semangat baru dan harapan baru bagi insan Pemasyarakatan.
Menghadapi berbagai arus perubahan sosial terkait pemidanaan tersebut, maka peran Pemasyarakatan sebagai salah satu sub sistem peradilan pidana yang melaksanakan pembinaan intra maupun ekstra-mural, mulai dari tahapan pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga postadjudikasi tentunya juga harus melakukan persiapan dan pembenahan.
“Ini adalah sebuah momentum. Maka segera mungkin perlu disiapkan eksekusi yang matang. Jangan sampai menjadi blunder atau justru akan melenceng jauh dari cakrawala bersama dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia,” pungkasnya. *
Tinggalkan Balasan