BUTON – Tradisi Maataano Galampa ini adalah bagian dari warisan leluhur, warisan budaya Kesultanan Buton yang berasaskan Islam.

Sejak dahulu, Sultan Buton IV, La Elangi Ikhsanuddin yang memerintah pada 1578-1615 telah merumuskan falsafah atau Undang-undang Kesultanan Buton yang disebut dengan Martabat Tujuh.

“Oleh sebab itu ini perlu dilestarikan di kehidupan masyarakat Buton,” kata Pj Bupati Buton, Basiran saat menghadiri Pesta Adat Wabula Maataano Galampa, di Baruga Wabula, Kecamatan Wabula, Sabtu (18/2/2023).

Baca Juga:  Groundbreaking 3 Proyek Infrastruktur, Bupati Buton Ungkap Tujuan Penguatan Ketahanan Lingkungan

Basiran menyampaikan, bahwa syair-syair Kabanti yang dilantukan dapat dilaksanakan dalam kehidupan dan perlu dibuatkan buku narasi agar diketahui oleh generasi yang akan datang.

“Tentu semua syair Kabanti yang selama 3 hari 3 malam dilantunkan harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu ini dibuat dalam bentuk buku narasi, sehingga generasi kita mengetahui ini,” ucapnya.

Pj Bupati Buton mengungkapkan dari semua rangkaian adat tersebut adalah untuk saling menyayangi dan menghormati satu sama lain yang terangkum dalam sebuah falsafah.

Baca Juga:  Pemkab Teken MoU Terkait Penggunaan Jalan Umum untuk Pengangkutan Aspal

“Semua rangkaian, semua prosesi, semua tuturangi, dan lain sebagainya adalah bagian dari bagaimana kita menjaga Pomamasiaka saling menyayangi satu sama lain, tidak boleh satu menonjol dari pada yang lain, dan yang lain tidak boleh saling menjatuhkan dengan yang lain, yang akhirnya terangkum dalam falsafah Bincibinciki kuli,” katanya.