Sidang PHPU Dalilkan Politik Uang, KPU Busel Sebut Harusnya Lapor ke Bawaslu
JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buton Selatan (Busel) selaku termohon mengatakan pasangan calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 4 Hardodi-La Ode Amiruddin (pemohon) yang mendalilkan dugaan pelanggaran praktik politik uang atau money politic dalam permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah alamat.
Menurut pihak KPU Busel, seharusnya pemohon melaporkan dugaan pelanggaran politik uang tersebut kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau lembaga berwenang lain, bukan mengajukan sengketa hasil ke MK.
“Jika yang dimaksud pemohon keberatan terhadap penetapan rekapitulasi hasil perolehan suara oleh termohon karena terjadi praktik politik uang secara masif yang dilakukan oleh pasangan calon nomor urut 1, nomor urut 2, nomor urut 3, dan/atau tim pemenangannya,” ujar kuasa hukum termohon, Fajar Maulana Yusuf dalam sidang dengan agenda mendengarkan jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu untuk perkara Nomor 134/PHPU.BUP-XXIII/2025 pada Kamis (23/1/2025) di Ruang Sidang Gedung I MK, Jakarta seperti dikutip dari laman resmi MK.
Fajar mengatakan, pemohon mendalilkan dugaan pelanggaran politik uang dimaksud terjadi di 70 desa/kelurahan dan 7 kecamatan di Busel dengan nilai yang variatif yaitu paslon 1 Rp150 ribu-Rp200 ribu per orang, paslon 2 Rp500 ribu-Rp600 ribu per orang, dan paslon 3 Rp100 ribu-Rp300 ribu per orang.
Sementara, menurut termohon, kubu Hardodi-La Ode Amiruddin tidak menguraikan secara jelas dan terperinci atas nama-nama pelaku, siapa pemberi dan penerimanya, serta kapan dan di mana tempat terjadinya politik uang.
“Termohon juga tidak pernah dipanggil oleh Bawaslu untuk dimintai keterangan atau menerima rekomendasi atau keputusan Bawaslu yang terkait dengan dalil-dalil pemohon tersebut,” kata Fajar.
Hal serupa juga disampaikan paslon nomor urut 2 Muhammad Adios-La Ode Risawal selaku pihak terkait. Menurut pihak terkait, dalil pemohon yang menyatakan adanya praktik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) merupakan pernyataan sepihak oleh pemohon dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pasalnya, pemohon mendalilkan dugaan pelanggaran tersebut tanpa menjelaskan secara konkret menjelaskan kronologis kejadian, kapan kejadiannya, siapa yang melakukannya, serta seperti apa dan bagaimana TSM-nya praktik uang.
Di samping itu, pemohon pun tidak mampu menguraikan hubungan dugaan pelanggaran tersebut terhadap hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
“Pemohon tidak mampu menyebut dan menguraikan kesalahan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh termohon dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon,” tutur kuasa hukum pihak terkait,Randiman Madi.
Di sisi lain, Ketua Bawaslu Busel, Bahrudin La Puka mengatakan pihaknya menerima 23 laporan dan dua temuan dalam Pilkada Busel. Dari jumlah tersebut, terdapat 22 laporan yang diregistrasi tetapi tidak ditindaklanjuti.
Salah satunya laporan dugaan tindak pidana pemilihan politik uang yang dilakukan paslon 1, paslon 2, maupun paslon 3. Laporan tersebut kemudian dibahas bersama di Sentra Gakkumdu Buton Selatan dan pada pokoknya menyimpulkan laporan tidak memenuhi unsur tindak pidana pemilihan Pasal 187 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) karena kurangnya alat bukti untuk ditetapkannya sebagai suatu tindak pidana.
“Bawaslu Kabupaten Buton Selatan mengeluarkan pemberitahuan status laporan tanggal 14 Desember 2024 yang pada pokoknya laporan tidak terbukti sebagai pelanggaran pemilihan,” kata Bahrudin.
**
Tinggalkan Balasan