Tapal Batas di Konsel Terus Berlanjut, Warga Landipo Buat Rumah Jaga Sebagai Bentuk Perlawanan ke Mafia Tanah
KENDARI – Sebuah tapal batas yang terletak di Desa Landipo, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra) terus berlanjut.
Kali ini masyarakat sekitar Landipo kembali menduduki Lahan Mangrove yang selama ini berpolemik karena adanya upaya pemindahan sepihak Tapal Batas Desa Landipo dan Kelurahan Lapuko oleh camat Moramo dan beberapa oknum lainnya.
Bentuk penguasaan wilayah mangrove oleh masyarakat desa Landipo adalah melakukan pembuatan rumah jaga di area Batas Wilayah desa yakni Anggalo Nggapulu dan area Perempangan Alam Gowa. Aktifitas menduduki lahan mangrove ini akan terus dilakukan masyarakat setempat.
Salah satu warga yang tidak mau disebut namanya menyampaikan, bahwa kegiatan ini adalah bentuk perlawanan rakyat Desa Landipo kepada sejumlah oknum yang juga di dalamnya diduga ada pejabat.
“Kami akan terus beraktivitas di lahan mangrove yang selama ini kami jadikan tempat mencari rejeki. Jujur pak, kami di desa Landipo aman-aman saja, tapi seiring dijualnya lahan mangrove yang nota bene para penjual itu sama sekali tidak memiliki hak pada lahan mangrove maka kami lawan. Kemana mereka selama ini jika memang mereka menguasai fisik lahan,” ungkapnya pada Senin (9/5/2022).
Senada dengan Ketua BPD Desa Landipo Basri, bahwa kegiatan ini adalah bentuk ketidaksukaan rakyat terhadap para Oknum.
“Saya ini pensiunan pak, jujur harusnya diusia pensiun saya ini banyak istrahat, namun karena saya mendapat amanah sebagai wakil dari suara rakyat maka saya tidak bisa tinggal diam melihat Warga berusaha sendiri memperjuangkan hak desanya,” bebernya.
Ia juga menyayangkan, Kepala Desa Landipo sudah tidak peduli kepada Rakyatnya maka untuk itu dirinya harus berdiri ditengah-tengah warga. Paling tidak berusaha mengendalikan kemarahan Warga yang makin memuncak.
Ditempat yang terpisah, Yusdianto selaku kuasa hukum masyarakat Landipo menuturkan bahwa, aktifitas masyarakat Landipo secara intens sebenarnya sudah akan dilakukan bulan April kemarin tapi karena suasananya masih Puasa sehingga di putuskan bahwa kegiatan akan dilakukan pasca lebaran.
Bahkan, kata usdianto lagi, setelah banyak berdiskusi dengan para tokoh terkait lahan mangrove dan kemudian menghubungkan adanya upaya pemindahan tapal batas oleh Camat Moramo, maka dia merasa berkewajiban berdiri untuk membela hak rakyat.
Tak hanya itu, ia juga membeberkan, bahwa aktifitas dilahan mangrove oleh warga Landipo ini sebenarnya sudah terschedule baik di bulan April. Tetapi karena suasananya masih puasa maka di putuskan nanti usai lebaran baru dilakukan.
Ia juga menyayangkan hal ini terjadi. Bagaimana tidak, orang yang tidak memiliki sejarah penguasaan bisa sampai memiliki lahan luas, bahkan 1 orang oknum bisa menguasai 2 sampai 3 porsil tanah.
“Coba bayangkan, seperti saudara Iksan yang mengaku mitra BPN. Apa dasarnya dia sampai memiliki Lahan seluas 13590 M² seperti yang tertera di Aplikasi DWG. Saya sudah tanya beberapa tokoh masyarakat, mereka mengatakan bahwa jangankan Saudara Iksan, yang lainnyapun sama sekali tidak memiliki sejarah penguasaan lahan. Lalu kenapa bisa sampai ada sertifikat dan SKT. Saya persilahkan para awak media untuk mencari tahu,” cibirnya.
Yusdianto menjelaskan, mereka (warga) akan terus menjaga untuk tidak dipindahkan sesuai keinginan sepihak Camat Moramo.
“Sudah jelas dalam kesimpulan RDP yang dilakukan oleh DPRD Konsel. Disitu di sebutkan bahwa berdasarkan dengar pendapat, 8 tokoh mengatakan bahwa Batas Desa Landipo dan Kelurahan Lapuko adalah Anggalo Nggapulu, sedangkan 2 orang lainnya mengatakan bahwa Batas Desa Landipo dan Kel. Lapuko adalah Kali Landipo (2 diantaranya tersebut adalah Camat) sedangkan lainnya Lupa dan tidak tahu. Nah dengan adanya Fakta RDP lalu mengapa tapal batas harus di pindahkan? Sampai kemuara kali Landipo. Apakah untuk melindungi Sertifikat yang sudah terbit?,” urainya dengan nada kesal.
Tinggalkan Balasan