BOMBANA – Tari Lumense merupakan tarian yang berasal dari Tokotu’a Moronene yang mendiami Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Suku Moronene sendiri merupakan penduduk asli dari wilayah ini. Nenek moyang suku ini adalah bangsa melayu tua yang datang dari hindia belakang pada zaman pra sejarah.

Dikutip dari beberapa sumber, Lumense dari bahasa moronene terdiri dari dua suku kata Lumee dan Eense. Lumee bermakna mengais atau membersihkan dan Eense bermakna melonjak-melonjak. Lumee jika diibaratkan sebagai kuali yang sudah bersih kemudian dibersihkan kembali dan Eense melonjak-melonjak seperti berada di atas bara api.

Secara harfiah Lumense bermakna tarian untuk membersihkan negeri dengan gerakan melonjak-melonjak.

Tarian ini dipercaya sebagai ritual untuk membersihkan negeri dari segala bala bencana, seperti bencana alam ataupun serangan wabah.

Dahulu ritual pembersihan ini dilakukan dengan mengorbankan hewan bahkan manusia sebagai tumbal. Namun seiring dengan masuknya ajaran Islam di masyarakat Pulau Kabaena kemudian diganti dengan batang pisang.

Selain itu, Tari Lumense juga biasa dilakukan jika terjadi pelanggaran adat istiadat ditengah-tengah masyarakat setempat.

Baca Juga:  Update Harga BBM Pertamina di Sultra per Juni 2025, Pertamax hingga Dexlite Kompak Turun

Belum ketahui pasti sejak kapan ritual adat ini mulai ada tapi tarian ini sudah cukup tua bagi masyarakat Kabaena pada khususnya. Bahkan ada beberapa tempat yang dipercaya awal mula Lumense muncul seperti di Desa Tangkeno, Desa Lengora dan Desa Balo.

Penyelenggaraan Lumense ini dilakukan oleh Bisa (dukun) kerajaan-kerajaan yang disebut Woliam Pehalu.

Bisa menarikan Lumense di rumah yang disebut dengan Palangga atau rumah untuk berhubungan langsung dengan alam gaib. Rumah tersebut khusus dibuat untuk para Bisa melakukan ritual adat tersebut.

Jika ada wabah penyakit atau bala bencana, Bisa bersemedi di rumah Palangga bisa sehari semalam, 7 hari 7 malam bahkan sampai 40 hari 40 malam. Ketika mendapatkan petunjuk, gendang dibunyikan lalu para Bisa seketika meloncat dari Palangga untuk menari Lumense.

Ritual ini dimaksudkan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang.

Ritus tarian ini diawali dengan gerakan maju mundur, bertukar tempat kemudian membentuk konfigurasi huruf Z lalu berubah menjadi S, gerakan yang ditampilkan merupakan gerakan yang dinamis yang disebut moomani atau ibing.

Baca Juga:  Audiensi Wabup Buton-Fraksi PKS DPR RI, Bahas Potensi Alam hingga Area Blank Spot

Puncak dari tarian ini adalah ketika para penari terus melakukan moomani kemudian menebaskan parang kepada pohon pisang, sampai pohon pisang itu jatuh bersamaan ke tanah.

Penutup dari tarian ini adalah para penari membentuk konfigurasi setengah lingkaran sambil saling mengaitkan tangan lalu menggerakannya naik turun sambil mengimbangi kaki yang maju mundur.

Tarian ini diiringi oleh musik yang berasal dari alat musik gendang dan gong besar (tawa-tawa) dan gong kecil (ndengu-ndengu).

Untuk mengiringi tarian ini hanya dibutuhkan tiga orang penabuh alat musik tersebut sementara dalam memainkan tarian ini dibutuhkan beberapa anakan pohon pisang sebagai properti pendukung.

Pulau Kabaena dengan tari Lumense-nya terus dilestarikan sebagai bagian dari kekhasan budaya Indonesia. Terlebih lagi setelah Tari Lumense ini ditampilkan dalam rangkaian acara upacara HUT Kemerdekaan RI ke-77 di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu, 17 Agustus 2022 lalu.

**/bs