MK Tolak Gugatan Tina-Ihsan soal Hasil Pilgub Sultra, Ini Alasannya
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan Perkara Nomor 249/PHPU.GUB-XXIII/2025 mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) yang diajukan pasangan calon (Paslon) nomor urut 4, Tina Nur Alam-La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan tidak dapat diterima.
Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sebagai syarat formil pengajuan permohonan.
“Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (4/2/2025) malam di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung I MK, Jakarta seperti dikutip dari laman resmi MK.
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengatakan, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai syarat formil dalam mengajukan permohonan PHPU Gubernur Sultra.
Mahkamah juga tidak menemukan adanya kejadian khusus yang dapat dinilai telah mencederai penyelenggaraan Pilgub Sultra 2024 sehingga dapat dijadikan alasan menyampingkan Pasal 158 UU Pilkada.
Karena itu, Mahkamah menilai tidak relevan untuk meneruskan permohonan ini pada pemeriksaan persidangan lanjutan.
Arsul menjelaskan selisih perolehan suara pemohon dengan paslon peraih suara terbanyak untuk dapat mengajukan permohonan PHPU Gubernur Sultra 2024 adalah 22.194 suara sebagaimana 1,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU Provinsi Sultra sebanyak 1.479.591 suara.
Sedangkan perbedaan perolehan suara antara Pemohon (308.373 suara) dan pihak terkait sebagai paslon peraih suara terbanyak (775.183 suara) adalah 466.810 suara atau 31,55 persen. Dengan demikian, selisih perolehan suara antara pemohon dan paslon peraih suara terbanyak melebihi ketentuan 1,5 persen tersebut.
“Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Arsul.
Mahkamah mengatakan permohonan ini diajukan paslon Tina-Ihsan. Sedangkan ihwal surat pencabutan kuasa dan penarikan permohonan oleh Ihsan tidak dilakukan sebagaimana mestinya karena hanya disampaikan kepada Mahkamah tanpa disampaikan kepada kuasa hukum dan tidak adanya penyampaian kepada kuasa hukum tersebut dibenarkan dalam persidangan pada 22 Januari 2025. Sehingga Mahkamah menyatakan menolak penarikan dimaksud.
Kendati demikian, meskipun pemohon adalah pasangan calon peserta Pilgub Sultra, namun dalil-dalil yang diajukan dalam permohonan tidak beralasan menurut hukum sehingga Mahkamah tidak memiliki alasan untuk tidak memberlakukan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada.
Termasuk dalil adanya pemalsuan tanda tangan Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Sultra serta pelanggaran administratif dan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif di 13 kabupaten/kota di Sultra telah terbantahkan berdasarkan sidang dengan agenda mendengarkan jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu dalam perkara ini.
“Bukti-bukti lain yang diajukan pemohon berupa foto dan video dapat dinilai terlalu sumir untuk membenarkan adanya dugaan politik uang dimaksud. Bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tersebut tidak cukup meyakinkan Mahkamah terkait terjadinya pelanggaran berupa money politic yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masih sehingga kemudian dapat mempengaruhi perolehan hasil suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2024,” kata Arsul.
**
Tinggalkan Balasan