JAKARTA – Kabar masuknya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar menjadi Cawapres Anies Rasyid Baswedan membuat Partai Demokrat (PD) geram.

PD kecewa dan menyebut Anies Baswedan sebagai pengkhianat usai meninggalkan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) karena menyetujui Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sebagai Cawapresnya.

PD pun santer diberitakan bakal hengkang dari KPP, koalisi yang digagas bersama PKS dan Partai Nasdem, dengan mengusung Anies Baswedan sebagai capres di Pilpres 2024.

Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza, melihat PD kemungkinan besar akan berani mengambil sikap, keluar dari pendukung Anies, sebab penentuan cawapres Anies adalah Cak Imin yang dipaksakan oleh Nasdem bukan kesepakatan bersama, dan PD udah menurunkan baliho Anies dan menggunakan diksi pengkhianat atas wacana Cak Imin cawapres Anies.

Efriza mengungkap ada dua opsi yang bisa dipilih oleh PD jika ingin maju capres atau cawapres.

Opsi pertama merealisasikan wacana dari Sandiaga Uno membentuk poros baru, tetapi berat tantangannya, bersama PPP dan PKS.

PKS bisa mengikuti wacana pembentukan poros baru meski sudah menyatakan tegak lurus mendukung Anies, sebab PKS dan PD dikecewakan Nasdem, dan Nasdem tidak konsisten ucapan dan sikap karena ia mengumbar ke publik menginginkan non-parpol malah mengajukan Ketua Umum PKB Cak Imin.

“Tetapi peluang ini kecil, jika PD tak bisa merayu PPP melalui Sandiaga Uno membentuk poros baru, sebab Sandi sudah menurunkan impian itu. Kemungkinan gagal berikutnya, Istana belum tentu menyetujui adanya empat poros, jadi keputusan PPP disinyalir tergantung Istana. Namun Istana tentu juga memikirkan kemungkinan putaran kedua, jadi masih dinamis utak-atiknya tergantung dari hitungan dan dampaknya, dan juga restu Istana,” ucap Efriza, Jumat (1/9).

Opsi kedua, AHY atau PD mencoba merealisasikan opsi bersama Ganjar, karena namanya masuk dalam porsi sebagai cawapres Ganjar, dalam daftar lima nama.

Hanya menurut Dosen Ilmu Politik beberapa kampus di Indonesia ini, bahwa pilihan ini tak akan diikuti oleh PKS, sebab PDIP tak akan berkenaan bersama PKS.

Kemungkinkan kecil juga PKS menyeberang kepada Prabowo karena Prabowo kuat dugaan enggan bersama lagi dengan PKS karena memori kelam di Pilpres 2019.

Jadi PKS bisa saja kecewa tapi tetap dikoalisi Anies karena figur Anies sejak di DKI Jakarta bersama PKS makanya disebut tegak lurus bersama Anies. Bekerjasama dengan PKB tak masalah bagi PKS karena pernah bersama di era pemerintahan SBY.

“Opsi ini amat sulit, karena terkait dengan restu dari Megawati Soekarnoputri, meski begitu, memungkinkan Jokowi bisa saja melakukan pendekatan kepada Megawati jika opsi ini realistis hitungan politik terkait kemenangannya,” terangnya.

Lanjut kata Efriza, masih ada dua opsi lainnya, PD memilih dengan Prabowo karena sudah pernah penjajakan bertemu Gerindra dalam membangun komunikasi kemungkinan kerjasama. Tetapi kecil peluangnya, sebab Prabowo ingin identik dengan pemerintahan sekarang, juga kuat dugaan menunggu restu Jokowi.

“Nah, opsi terakhir, opsi tahan malu dan sakit hati. Berusaha menahan sakit hati dengan melobi PKB. Caranya tetap bertahan di KPP, tapi mengupayakan Cak Imin jadi king maker, tak jadi cawapres Anies dengan legowo mengalihkan ke AHY dan PD. Tapi tentu saja harus ada keuntungan apa yang ditawarkan oleh PD ke PKB dan Cak Imin,” jelasnya.

Opsi tersebut juga menurut pengamat ini sulit, karena Anies belum tentu berkenaan, sebab jika benar Anies juga meminta Cak Imin, memalukan dirinya juga. Opsi ini juga berhubungan dengan tenggat waktu kemungkinan deklarasi Anies-Cak Imin.

“Jika tidak dilakukan oleh PD kemungkinan-kemungkinan itu, maka kemungkinan besar adalah PD akan menjadi “tunawisma” politik tanpa berkoalisi, semuanya sekarang ditentukan seberapa mampu PD menunjukkan kemampuan lobinya,” pungkas Efriza.

**/mus