JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan terhadap sistem pemilihan umum (pemilu).

Dengan begitu pemilu legislatif yang diterapkan di Indonesia, tetap menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka seperti yang telah diberlakukan sejak 2009.

Pengamat politik dari Citra Institute, Efriza menilai bahwa Ini adalah keputusan yang tepat dilakukan oleh MK. Mahkamah dalam Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 terlihat benar-benar mempelajari dengan cermat untuk sampai pengambilan keputusan, bahkan lengkap uraian pertimbangan hukumnya dengan menguraikan perjalanan sejarah pemilu di Indonesia.

Mahkamah juga menjelaskan dalam pertimbangan hukum seperti adanya perbedaan pandangan dari Fraksi PDIP dengan keterangan DPR, lalu mahkamah menentukan sikap terhadap perbedaan itu adalah soal perbedaan pandangan pandangan merupakan persoalan internal lembaga DPR, sehingga Mahkamah mempertimbangkan keterangan DPR secara kelembagaan.

“Ini menunjukkan mereka mencoba mendudukkan persoalan dengan objektif,” ucap Efriza, Kamis (15/6/2023).

Mahkamah juga dalam pertimbangkan hukumnya menjelaskan, menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan terhadap implikasi dan implementasi sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka serta original intent dan penafsiran konstitusi terhadap pemilihan umum dan sistem pemilihan umum sebagaimana telah diuraikan secara lengkap di atas maka akhirnya Mahkamah menyatakan dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Akhirnya, dalam keputusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.”

“Itulah gambaran dari putusan mahkamah konstitusi yang semakin mengukuhkan sistem proporsional terbuka untuk dilanjutkan dalam Pilpres 2024 ini,” terang dosen Ilmu Politik dibeberapa kampus di Indonesia ini.

Lanjut Efriza, jika membaca secara seksama putusannya, ini murni keputusan yang diambil dengan cermat, dengan diikuti kemurnian dalam pemahaman dasar-dasar hukum dan penilaian perkembangan pemilu di Indonesia dari para hakimnya.

“Jadi, yang dilakukan oleh Denny Indrayana, hanya psywar atau upaya perang urat syarat semata kemarin. Komentar Denny pada dasarnya bukanlah tekanan terhadap MK, tetapi upaya penggiringan persepsi negatif terhadap institusi Mahkamah Konstitusi.

“Apa yang dilakukan oleh SBY juga bukan sebuah bentuk keprihatinan, tetapi sebuah bentuk ketidakyakinan hati dan pikirannya saja. Jika semua pikiran negatif yang dihamburkan untuk dikonsumsi publik, adalah bukanlah sebuah bentuk pendidikan politik kepada masyarakat. Tetapi malah dapat membawa kekhawatiran di tingkat masyarakat,” jelasnya.

Lebih lanjut kata Efriza, semestinya kita dapat membiarkan lembaga MK menjalankan fungsinya mengawal konstitusi, jika ingin mengawasi kinerja MK lakukanlah dengan baik, tanpa melakukan tudingan-tudingan yang malah menunjukkan merekalah yang sedang menekan lembaga MK, bukan sebaliknya seperti tudingan bahwa MK berperilaku tidak netral dan sarat kepentingan dan juga dapat dipengaruhi oleh eksekutif.

“Persoalan ini jika dibaca keputusannya, sudah selesai, karena keputusan MK final dan mengikat. Keputusan Ini amat melegakan bagi semua pihak, tak kecuali bagi PDIP sendiri. Karena tudingan presiden cawe-cawe untuk memengaruhi lembaga Mahkamah Konstitusi, tidaklah terbukti. Tudingan hanya menjadi tudingan semata, tanpa dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan hasil akhir keputusan MK yang berpihak kepada demokrasi dan kedaulatan rakyat tersebut,” pungkasnya.

Sebelum ada putusan MK, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana mengklaim mendapat informasi soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu legislatif yang akan kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai.

“Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja,” kata Denny lewat cuitan di akun Twitternya @dennyindranaya.

Kemudian melalui akun Twitternya @SBYudhoyono, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menanggapi unggahan Denny Indrayana, soal isu perubahan sistem Pemilu 2024 menjadi sistem proporsional tertutup.

SBY mengatakan jika yang disampaikan Denny Indrayana ‘reliable’, bahwa MK akan menetapkan sistem proporsional tertutup, dan bukan sistem proporsional terbuka seperti yang berlaku saat ini, maka hal ini akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia.

“Apakah ada kegentingan & kedaruratan sehingga sistem pemilu diganti ketika proses pemilu sudah dimulai? Ingat, DCS (Daftar Caleg Sementara) baru saja diserahkan kepada KPU. Pergantian sistem pemilu di tengah jalan bisa menimbulkan ‘chaos’ politik,” tulis SBY.

**/mus