JAKARTA – Partai Golkar, salah satu anggota Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), dikabarkan bakal bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR), yang digagas Gerindra dan PKB.

Pengamat politik Citra Institute, Efriza menilai jika Golkar bergabung dengan KKIR menunjukkan Golkar yang merupakan peraih suara ketiga hanya sebagai pendukung semata di Pilpres 2024.

Efriza mengatakan tanpa kehadiran Golkar sekalipun, KKIR sudah memenuhi ambang batas parlemen atau Presidential Threshold (PT) 20 persen. Artinya kehadiran Golkar tidak terlalu penting, sekadar bonus. Gerindra juga sepertinya memprioritaskan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres pendamping dirinya.

“Semakin mengukuhkan ketidakpentingan kehadiran Golkar. Ada dan tidak adanya Golkar, KKIR tetap berjalan karena memenuhi persyaratan Presidential Threshold,” ucap Efriza kepada HaloSultra.com

Hal itu menurut Efriza, menunjukkan Airlangga Hartarto tidak layak dalam persepsi dan elektabilitas dari penilaian masyarakat baik sebagai capres maupun cawapres.

Sedangkan dari pergerakan politik ini menunjukkan Airlangga sebagai Ketua Umum Golkar juga capres dari Golkar tidak punya pengaruh kuat untuk membujuk misalnya Partai Demokrat maupun PKB membentuk poros baru dan mengusung dirinya, lalu berpasangan dengan salah satu ketua umum partai lain. Ini juga menunjukkan Airlangga tidak begitu pandai dalam berkomunikasi.

“Airlangga pun juga salah perhitungan dengan membangun KIB malah rontok karena berbeda pilihan Koalisi pasca PDIP mengumumkan capres nya Ganjar Pranowo. Ini artinya kepemimpinan dan kecermatan dalam mengambil keputusan dari Airlangga Hartarto tidaklah membanggakan malah membuat miris,” terangnya.

Lanjut Efriza, posisi ketiga Golkar dalam peringkat perolehan suara di Pemilu 2019 juga sebagai partai lama yang masih kuat, tetapi tidak bisa meyakinkan partai-partai lain bahwa dukungan Golkar penting, maupun Airlangga patut diperhitungkan, ternyata realitasnya tak digubris maupun dapat meyakinkan partai-partai lain membentuk koalisi maupun mengusung dirinya.

“Ini artinya Airlangga gagal sebagai sebagai ketua umum untuk dirinya diperhitungkan bahkan partainya juga malah tidak diperhitungkan, amat disayangkan,” tutur dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Soetomo Banten ini.

Lebih jauh Efriza menuturkan, dengan Golkar yang terombang-ambing tanpa kejelasan untuk berkoalisi, sedangkan partai-partai lain dapat dipersepsikan amat santai melihat gerak politik Golkar, menunjukkan Golkar seakan tidak punya greget dibandingkan partai-partai lainnya.

Ini tentu saja memalukan sebagai partai peringkat ketiga diabaikan, bahkan gerakan politiknya juga kalah dengan peringkat buncit di parlemen seperti PPP.

Masih kata Efriza, diyakini dengan situasi ini, amat memungkinkan posisi Airlangga sebagai ketua umum akan dituntut oleh kader-kader untuk dievaluasi. Kekecewaan internal Golkar amat memungkinkan terjadi.

Apalagi faksi-faksi Golkar patronnya juga menunjukkan pilihan yang berbeda, artinya ada perbedaan pendapat saat ini, seperti JK amat memungkinkan memengaruhi massanya memilih Anies sedangkan kubu Airlangga amat memungkinkan juga tidak sepenuhnya mendukung Prabowo Subianto.

“Sebaiknya memang Golkar perlu menyikapi dan mengambil sikap dari situasi ini, untuk secara bulat keputusannya menentukan pilihan koalisi. Amat disayangkan jika Golkar sudah tidak diperhitungkan, dalam menentukan koalisi yang akan didukungnya aja njelimet, apalagi jika sampai menjelang menit akhir, ini sungguh miris.

“Ini tragedi yang amat miris, Partai Golkar yang pernah berjaya, partai sudah lama berdiri, partai posisi ketiga diabaikan dalam pentas politik. Golkar belum pernah di era reformasi tidak diperhitungkan, ini menunjukkan kegagalan Kepemimpinan Airlangga sebagai ketua umum dalam pentas politik,” jelas Efriza. **