JAKARTA – Rata-rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 M sebesar Rp 90.050.637,26 dari sebelumnya senilai Rp 98.893.909.

Besaran biaya ini diseakati dalam rapat Panja terakhir antara Komisi VIII DPR RI , pemerintah dan stakeholder terkait di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).

“Panja Komisi VIII DPR RI tentang BPIH 2023 dan Panja Pemerintah menyepakati besaran rata-rata BPIH untuk jemaah haji reguler sebesar Rp 90.050.637,26,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang memimpin rapat Panja.

BPIH yang ditetapkan terdiri dari rata-rata Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang ditanggung jemaah haji sebesar Rp 49.812.700,26 atau 55,3 persen dari total BPIH, lebih kecil dibanding usulan awal sebesar Rp 69 juta.

Baca Juga:  10 Gubernur Terkaya yang Dilantik Presiden Prabowo, Ada ASR hingga Bobby Nasution

Kemudian, nilai manfaat yang akan ditanggung oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) rata-rata Rp 40.237.937 atau 44,7 persen dari semula Rp 30 juta atau 30 persen.

“Secara keseluruhan, nilai manfaat yang digunakan sebesar Rp 8.090.360.327.213,67,” sebut Marwan.

Dalam rapat ini juga dibahas beberapa komponen biaya haji meliputi konsumsi, akomodasi, dan masyair.

Terkait konsumsi, disetujui konsumsi untuk jemaah haji di Mekkah ditambah 4 kali, menjadi 44 kali, dari semula 40 kali. Tambahan 4 kali makan itu diberikan pada dua hari menjelang Armuzna.

Sementara itu, konsumsi di Madinah diberikan 18 kali. Menu katering untuk jemaah disepakati harus yang bernuansa Nusantara dam berbahan baku, serta pekerjanya berasal dari Indonesia.

Baca Juga:  Pemprov Sultra Canangkan Pembangunan Bandara dan Pelabuhan Internasional

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief mengungkapkan, awalnya, pemerintah menghilangkan konsumsi dua hari menjelang Armuzna. Hal ini mengingat terbatasnya kemampuan distribusi dari pihak katering yang menjadi mitra.

Sebab, pada tanggal tersebut, sebanyak 2,5 juta orang berkumpul di Mekkah dan banyak sekali jalan yang ditutup. Namun, jika hal ini ditiadakan, maka jemaah bisa kesulitan mendapat makanan.

“Bila tidak diberikan pada H-3 dan H+2, seluruhnya selama 5 hari tidak ada makan, maka akan sulit bagi jemaah untuk mencari,” jelasnya. **