KENDARI – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar seminar pengelolaan industri nikel bertempat di Aula Universitas Nahdatul Ulama Sultra (Unusra), Sabtu 28 Juni 2025.

Seminar ini mengangkat tema “Menata Ulang Tata Kelola Industri Nikel: Jalan Pemulihan Krisis Sosial-Ekologis di Sulawesi”, yang dihadiri oleh akademisi, pemerintah daerah, masyarakat, dan komunitas kampus.

Disisi lain, seminar ini menjadi momentum penting untuk membangun kesadaran kolektif dan memperkuat sinergi lintas sektor demi mendorong transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat.

Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman mengatakan, bahwa narasi yang disampaikan pemerintah mengenai hilirisasi dan ekspansi tambang nikel sampai hari ini dampak positifnya belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat.

“Dan hasil riset kita (Walhi) banyak fakta yang kami munculkan secara empiris bahwa ternyata yang disampaikan oleh pemerintah tidak seindah yang terjadi di lapangan,” kata Andi Rahman.

Baca Juga:  Gubernur-Wagub Tiba di Sultra, Disambut Meriah dengan Tarian Adat

Dampak pertambangan di Sultra, lanjut Andi Rahman, yang terjadi adalah tingkat kemiskinan dan kerusakan ekologis mengalami eskalasi.

“Karena yang terjadi adalah tingkat kemiskinan di wilayah industri itu meningkat dan kerusakan ekologis maupun lingkungan itu masif yang ada dampak buruknya,” ujarnya.

Andi Rahman menyebut, salah satu episentrum krisis ini adalah Kawasan Industri Morosi di Kabupaten Konawe, tempat beroperasinya dua korporasi raksasa, PT Virtue Dragon Nickel Industry (PT VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (Pt OSS), yang merupakan anak perusahaan dari Tsingshan Group asal Tiongkok.

Selain itu, perluasan tambang yang masif merusak Daerah Aliran Sungai (DAS), mencemari sungai, dan mengganggu mata pencaharian warga seperti nelayan dan petani.

Konflik agraria pun merebak akibat ekspansi kawasan industri yang mengabaikan hak tenurial masyarakat lokal. Warga yang berani menyuarakan penolakan kerap menghadapi intimidasi dan tindakan represif.

Ironisnya, kontribusi industri terhadap ekonomi lokal dinilai tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan dan beban sosial yang harus ditanggung masyarakat.

Baca Juga:  Prakiraan Cuaca Sultra 27 Maret 2025, BMKG Masih Catat Potensi Hujan

Menanggapi situasi ini, Walhi Sultra bersama mitranya merilis hasil riset yang mengidentifikasi enam langkah strategis untuk pembenahan sektor nikel, penghentian PLTU captive, moratorium dan penertiban izin industri, perlindungan wilayah kelola rakyat, reformasi penegakan hukum, demokratisasi tata kelola tambang, serta pemulihan dan rehabilitasi wilayah terdampak.

Andi Rahman menegaskan bahwa krisis yang dihadapi tidak bisa lagi diselesaikan dengan pendekatan sektoral atau solusi tambal sulam.

“Diperlukan reformasi menyeluruh dengan meletakkan keadilan ekologis, hak asasi manusia, dan partisipasi masyarakat sebagai pondasi utama. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi soal masa depan kehidupan di Sulawesi,” tegasnya.

Selain itu, Andi Rahman berharap bahwa kegiatan ini dapat menjadi pijakan awal menuju arah kebijakan yang lebih manusiawi dan berdaulat atas ruang hidup masyarakat lokal.

**