BUTON – Suku Buton merupakan salah satu etnis besar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan atau mendiami wilayah Kesultanan Buton.

Dikutip dari laman Dinas Kebudayaan Kabupaten Buton, disebutkan nenek moyang suku Buton berasal dari imigran yang datang dari Johor sekitar abad 15 dan kemudian mendirikan Kesultanan Buton yang bertahan hingga tahun 1960 dimana sultan terakhir meninggal dunia dan kemudian tradisi Kepulauan Buton tercerai berai.

Masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawa pada abad ke-15, menyebabkan masyarakat Buton mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme).

Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam.

Baca Juga:  Groundbreaking 3 Proyek Infrastruktur, Bupati Buton Ungkap Tujuan Penguatan Ketahanan Lingkungan

Misalnya masyarakat nelayan Wakatobi khususnya Tomia mengenal adanya Dewa Laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi Lautan Banda yang terkenal ganas. Dan di masyarakat Buton ada sosok dewa Wa Kinam**** yang menjadi tabu untuk disebutkan namanya dan hanya boleh disebutkan dengan cara berbisik.

Siapa Wa Kinam**** yang tidak boleh disebutkan namanya

Untuk berladang dan berkebun di hutan, sebagian suku di Buton masih mempercayai adanya pelindung atau dewa yang menguasai dan menjaga hutan.

Dengan kemistisannya, nama Wa Kinam**** dalam budaya Buton tidak boleh disebut namanya dan hanya diucapkan dengan cara berbisik.

Kepercayaan terhadap dewa ini menjadikan banyak suku di Buton tidak berani asal masuk ke hutan rimba untuk merambah. Maka berkebun dan masuk ke hutan pun haruslah dilakukan secara berhati-hati.

Baca Juga:  Ular Piton 6,5 Meter Lilit Wanita di Buton hingga Tewas, Begini Kronologinya

Hal di atas tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat Buton masih menjalankan tradisi dan kearifan lokal dalam mengelola pangan untuk kehidupannya.

Sehingga pilihan pangannya juga sangat disesuaikan dengan kondisi alam di Buton, dan umumnya sangat beragam dan masih ditanam secara organik.

Kemampuan masyarakat Buton dalam menjaga tradisi dan beradaptasi pada alam tempat mereka bermukim, menjadikan pangan Buton bukan hanya sekedar pangan untuk mengenyangkan perut.

Lebih dari itu, pangan dan kepercayaan adat dan tradisi Buton merupakan perlambang dari pangan sehat yang beragam dan eksotis, tangguh bertahan dalam lingkungan dan simbol tradisi kuliner berbasis kearifan lokal. **