KENDARI – Massa Gerakan Anti Korupsi Sulawesi Tenggara resmi melaporkan dugaan keterlibatan Bupati Kolaka Utara (Kolut), Nur Rahman Umar, dalam kasus korupsi proyek pembangunan Bandara Kolut. Laporan itu disampaikan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra).

Ketua Gertak Sultra, Farid Fagi Maladi menyebut laporan ini sebagai upaya menuntut akuntabilitas pejabat publik sekaligus mendorong penegakan hukum yang transparan.

Diaebutkan Farid, proyek pematangan lahan bandara, termasuk pembangunan talud dan penimbunan, mulai digagas pada 2018-2019.

Proyek pembangunan bandara di Kolut ini dibiayai melalui pinjaman daerah sekitar Rp 97,47 miliar berdasarkan Akta Perjanjian Kredit Nomor 221 tanggal 16 Oktober 2020 antara Pemkab Kolaka Utara dan Bank Sultra.

Dari jumlah tersebut, Rp 41,15 miliar dialokasikan untuk pematangan lahan bandara yang dikerjakan PT Monodon Pilar Nusantara sejak Mei 2020.

Farid menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan kerugian parsial sebesar Rp 9,87 miliar. Namun, di lapangan terdapat indikasi kerugian total loss senilai kontrak Rp 41,15 miliar.

Baca Juga:  Dugaan Korupsi Tambang, Kepala Wilker Kolut Nyatakan Komitmen Kooperatif

Proyek tersebut diduga dikerjakan tanpa dokumen perencanaan sah, tanpa izin lingkungan (Amdal) final, serta tanpa izin reklamasi penimbunan laut.

Akibatnya, talud rusak, pemadatan tanah tidak sesuai standar, dan lahan tidak layak untuk pembangunan tahap berikutnya.

Selain kerugian fisik, Gertak Sultra juga menyoroti dugaan manipulasi dokumen pinjaman. Farid menyebut adanya perbedaan angka antara Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD Nomor 33 Tahun 2020 dengan nilai dalam akta kredit.

Sebagai contoh, kata dia, pagu pembangunan Jembatan Latawaro di APBD hanya Rp 694,66 juta, namun dalam akta kredit naik menjadi Rp 714 juta. Hal ini memunculkan dugaan rekayasa dokumen untuk memperbesar pinjaman.

Lebih jauh, ditemukan sembilan paket pekerjaan yang tidak tercantum dalam akta perjanjian kredit, tetapi tetap dicairkan oleh BPD Sultra pada 22 Desember 2020. Pencairan ini dilakukan sebelum terbitnya Akta Perubahan Nomor 101 pada 3 November 2021 yang seharusnya menjadi dasar perubahan.

“Gertak Sultra menduga ada kesepakatan tidak sah antara Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dan pihak bank untuk mencairkan dana di luar ketentuan, melanggar aturan Kementerian Dalam Negeri,” tegas Farid.

Baca Juga:  Pekan Depan, Kejaksaan Periksa Asrun Lio Soal Dugaan Korupsi Kantor Penghubung Sultra di Jakarta

Ia menilai praktik tersebut menunjukkan penggunaan anggaran yang tidak prosedural dan berisiko tinggi.

Pinjaman daerah yang semestinya diawasi ketat justru dipakai untuk kegiatan di luar peruntukan, diduga tanpa persetujuan DPRD maupun Mendagri.

Kondisi ini, kata Farid, bisa menjadikan seluruh dana pinjaman beserta bunga sebagai kerugian negara.

Gertak Sultra pun mendesak Kejati Sultra segera memanggil dan memeriksa Bupati Kolaka Utara, pihak Bank Sultra, serta seluruh pejabat yang terlibat dalam perencanaan, pencairan, dan pelaksanaan proyek.

Mereka juga meminta audit investigatif ulang oleh BPK atau BPKP dengan metode total loss, termasuk menilai pembayaran, biaya pemulihan, dan beban pinjaman.

Selain itu, penyidikan diminta diperluas hingga DPRD Kolaka Utara, tim anggaran, pejabat keuangan daerah, panitia pengadaan, dan pihak terkait lainnya.

Farid menekankan pentingnya penegakan hukum lingkungan, mengingat pembangunan tanpa Amdal final berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis.

 

**