JAKARTA – Desakan agar pemerintah pusat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan kembali menguat.

Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka, melalui Sekretaris Daerah, Asrun Lio, menegaskan perjuangan ini menyangkut keadilan pembangunan bagi wilayah maritim yang selama ini menanggung biaya pembangunan lebih tinggi dibanding wilayah daratan.

Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) terkait pembahasan RUU Daerah Kepulauan, di Ruang Rapat Sriwijaya, Lantai 2 Gedung B DPD RI, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Dalam sambutan tertulis Gubernur, Asrun Lio menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi tantangan berat dalam pemerataan pembangunan dan penyediaan layanan publik.

“Sebagai negara bahari terbesar di dunia, 75 persen wilayah Indonesia berupa lautan dengan luas 6,4 juta kilometer persegi, sedangkan daratan hanya 25 persen. Karena itu, pembangunan nasional harus berpihak pada sektor maritim dan daerah bercirikan kepulauan,” tegasnya.

Data yang dibawa Pemprov Sultra menunjukkan ketimpangan fiskal yang dianggap tidak lagi bisa dibiarkan.

Baca Juga:  Intip Prediksi Besaran UMP Sulawesi Tenggara 2026

Dengan wilayah mencapai 148 ribu kilometer persegi, Sultra hanya menerima Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp 1,67 triliun pada 2025, jauh lebih rendah dibanding sejumlah provinsi non-kepulauan dengan karakter geografis lebih sederhana.

Tak hanya itu, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sultra tahun 2024 tercatat Rp 189,48 miliar dengan rasio 0,88 persen.

Angka itu dianggap belum sebanding dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur dasar, konektivitas antarwilayah, dan pelayanan publik di wilayah yang terbagi atas banyak pulau.

RUU Daerah Kepulauan sebenarnya bukan hal baru. Forum kerja sama provinsi berciri kepulauan telah mengupayakannya sejak Deklarasi Ambon 2005 dan kembali ditegaskan dalam Deklarasi Batam 2018.

Namun hampir satu dekade berjalan, draft RUU ini tak kunjung masuk fase pengesahan.

Saat ini ada delapan provinsi berciri kepulauan yang tergabung dalam Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan: Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung, NTB, dan NTT.

Baca Juga:  5 Daerah Penghasil Padi Terbesar di Sulawesi Tenggara, Konawe Tak Ada Lawan

Gubernur Sultra menegaskan perjuangan ini bukan upaya meminta keistimewaan, melainkan penegasan karakteristik wilayah kepulauan dalam sistem pembangunan nasional.

“Perjuangan ini bukan hanya tantangan politis, tetapi juga panggilan moral bagi kita semua untuk mengawalnya dengan kesungguhan dan konsistensi,” ujarnya.

Dia juga menekankan bahwa RUU ini tidak sama dengan otonomi khusus.

RUU ini merupakan permintaan perlakuan khusus yang adil dan konstitusional, disesuaikan dengan karakter geografis wilayah kepulauan.

Melalui RUU ini, pemerintah daerah kepulauan meminta adanya payung hukum yang secara tegas:

Menjamin kepastian alokasi fiskal,
Mengakui kekhususan geografis dan sosial budaya,
Meningkatkan pemerataan pembangunan,
Mengurangi isolasi wilayah dan disparitas ekonomi antar daerah.

Gubernur mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk tidak berhenti mengawal isu ini.

“Perjuangan ini bukan hanya kepentingan delapan provinsi kepulauan, tetapi perjuangan untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi wilayah pesisir dan kepulauan dalam mewujudkan keadilan spasial dan pembangunan nasional yang lebih merata,” tuturnya.

 

**