BAUBAUPulau Makassar yang masuk wilayah administratif pemerintahan Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Sultra) ini juga menyimpan keunikan budaya dan tradisi masyarakatnya.

Disebutkan penamaan Pulau Makassar yang dihuni sekitar 7.000 jiwa ini berawal pada abad ke-16 pulau ini pernah didiami oleh prajurit Kerajaan Gowa Sultan Hasanuddin yang ditawan oleh Kesultanan Buton.

Setelah perang usai, para prajurit tersebut kembali ke Makassar dan sebagian lagi memilih tinggal dan menikah dengan penduduk setempat.

Pada waktu itu, mata pencarian masyarakat Pulau Makassar adalah sebagai nelayan, hingga ritual Tuturangiana Andala pun sering dilakukan oleh masyarakat pulau itu.

Tuturangiana Andala Poagona Lipu diartikan memberikan makan kepada penguasa laut.

Dikutip dari berbagai sumber, Ritual Tuturangiana Andala ini dimaksudkan sebagai bentuk syukuran dan doa kepada Yang Maha Kuasa atas rezeki yang melimpah dari laut. Ritual ini juga bertujuan untuk menolak bala bagi nelayan yang beraktifitas di lautan.

Baca Juga:  Buka Kendari Run 2025, Gubernur Sultra Ajak Warga Sultra Jaga Kesehatan dan Promosikan Wisata

Masyarakat Pulau Makassar percaya bahwa ada musim paceklik ikan yang dikonotasikan sebagai tanda kemarahan penguasa alam laut kepada para nelayan, karena hanya menangkap ikan tetapi tanpa memberikan sesuatu ke alam laut.

Seperti halnya juga,  jika timbul gelombang laut dan angin kencang yang dapat membahayakan nelayan, mereka menganggap bahwa itu adalah murka penguasa alam laut.

Tradisi ini sama halnya dengan larung sesaji masyarakat Blitar di Jawa Tengah dan beberapa daerah di Indonesia, karena tradisi ini juga dilakukan dengan memberi sesaji di empat penjuru mata angin Pulau Makassar.

Ritual Tuturangiana Andala diawali dari beberapa pria dengan jubah panjang tradisi Buton membawa empat sesajen di atas rakit kecil yang terbuat dari bambu.

Baca Juga:  Bupati Kolaka Timur Dikabarkan Terjaring OTT KPK

Keempat rakit kecil itu dihiasi bendera bendera warna merah dan berisi beraneka macam kue khas Buton, beberapa lembar daun sirih, beberapa batang rokok dan kelapa muda disimpan di depan ketua adat.

Kemudian seekor kambing jantan disembelih dan diambil darahnya dengan gelas yang terbuat dari bambu. Darah kambing tersebut juga diletakkan di samping rakit sesaji itu. Rakit sesaji itu lalu dibacakan doa oleh ketua adat.

Usai dibacakan doa, rakit-rakit itu dibawa empat perahu kecil menuju ke empat penjuru mata angin lautan yang dianggap suci dan keramat oleh masyarakat setempat.

Sesajen itu lalu diarak menggunakan kapal kecil mengelilingi empat penjuru Pulau Makassar yang dipercaya suci dan kramat oleh masyarakat setempat.

Budaya masyarakat Pulau Makassar ini hingga kini masih terus dilestarikan.

**/bs