WAKATOBI – Tak hanya kekayaan alam bawah lautnya, Kabupaten Wakatobi di Sulawesi Tenggara (Sultr) menyimpan ragam keunikan budaya masyarakatnya yang masih terus dilestarikan.

Budaya Posepa’a merupakan salah satu budaya masyarakat Liya pada masa kesultanan yang dilakukan oleh kaum laki-laki dewasa maupun anak-anak pada bulan Suci Ramadhan dan Idul Adha, di pelataran Benteng Liya Togo, Wakatobi.

Posepa’a berasal dari bahasa daerah setempat atau bahasa Liya dengan kata dasar ‘Sepa’ yang berarti tendang. Penambahan awalan ‘po’ dan akhiran ‘a’ pada kata Posepa’a bermakna melakukan.

Sehingga Posepa’a dapat diartikan beradu kekuatan tending dengan menggunakan kaki yang dilakukan masyarakat Liya Togo baik laki-laki dewasa maupun anak-anak.

Tokoh masyarakat Liya Togo, Adi (41) mengatakan, pada zaman dahulu, sebelum atraksi Posepa’a dimulai, terlebih dahulu ditampilkan tari perang oleh pemangku adat Suku Liya yang dikenal masyarakat setempat sebagai Tari Honari Mosega, yang konon atraksi budaya ini sebagai simbol perang melawan hawa nafsu.

“Posepa’a ini merupakan latihan kekuatan para prajurit muda Liya dalam mempertahankan wilayah kekuasaan dari ancaman lawan,” tutur Adi.

Baca Juga:  Begini Klarifikasi Kepala SMAN 2 Wangi-wangi Usai Didemo Siswanya

Atraksi Posepa’a, dilakukan dengan berpegangan tangan dengan pasangan (Ndai) secara berkelompok yang bertempat tinggal diatas dan dibawah (Amai Wawo dan Amai Woru).

Kelompok ini kemudian saling menendang dan mengejar hingga salah satu kelompok tercerai berai. Kemudian yang bertahan dan tetap berpegang tanganlah sebagai pemenangnya. Kelompok masyarakat ini

Amai Wawo adalah masyarakat yang berdomisili dibagian matahari terbit (timur) dan Amai Worua dalah masyarakat yang berdomisili di bagian matahari terbenam (barat) dari lapangan atau arena budaya Posepa’a. Dan dua kelompok masyarakat inilah yang dilegalkan atau dibolehkan ikut sebagai peserta Posepa’a.

“Selama gerakan Posepa’a dilakukan teratur sesuai petunjuk pawang, diyakini tidak akan ada yang cedera meski sekeras dan sekuat apapun tendangan lawan mengenai badan,” jelas Adi.

Anak-anak, remaja dan dewasa bisa mengikuti ritual adat ini. Pada awal ramadan yakni pada 1-10 ramadan biasanya diikuti oleh anak-anak, kemudian pada 11-20 ramadan diikuti oleh remaja dan 21-29 ramadan diikuti oleh orang dewasa.

Baca Juga:  Keputusan Penghentian Sementara Aktivitas PT MS Harus Dikawal untuk Keadilan Agraria

Selanjutnya pada 1 Syawal (Idul Fitri) menjadi puncak dari acara adat ini dan dilakukan oleh semua peserta baik anak-anak, remaja, dan dewasa.

Namun jika dalam atraksi budaya Posepa’a ini ada pihak yang mengalami cedera atau luka bahkan mengeluarkan darah, tak akan mempengaruhi kondisi Kamtibmas warga.

“Para petarung dalam arena tidak diwajibkan menyerang lawan ketika terjatuh. Bukan itu saja, setelah selesai melakukan ritual, meskipun ada masyarakat yang terluka atau cedera akan datang menemui dan saling memafkan,” jelasnya.

Keunikan lain dari budaya Posepa’a ini, bahwa tidak adanya juri ataupun petugas keamanan dalam arena atraksi tersebut.

Dan apabila terjadi pertengkaran antara pelaku budaya Posepa’a para pelaku tersebutlah yang mengamankan diri dengan syarat bahwa tidak dalam posisi berpegangan tangan dengan teman peserta Posepa’a.

Tradisi budaya Posepa’a ini pun masih terus dilesatarikan oleh masyarakat Benteng Liya Togo di Wakatobi secara turun temurun dan menjadi salah satu kekayaan wisata budaya Sulawesi Tenggara. [**/adv]