KENDARI-Cuaca panas nan terik menyengat tak jarang berimplikasi pada produktivitas manusia di bumi. Mobilitas manusia pada siang hari juga jadi terhambat karena merasa ‘sumuk’ alias kepanasan seolah terpanggang di bawah sinar matahari. Kondisi serupa juga dirasakan pada malam hari, waktu istirahat menjadi terganggu lantaran efek gerah imbas cuaca panas seharian.

Cuaca panas  yang tinggi di Indonesia sering dikaitkan dengan  perubahan iklim. Hal itu tidaklah salah, meskipun juga tidak dapat dibenarkan sepenuhnya.

Seperti yang diungkapkan Plt. Deputi Klimatologi BMKG Urip Haryoko, bahwa setiap satuan kejadian cuaca, tidak dapat diatribusikan secara langsung ke pemanasan global atau perubahan iklim.

Perubahan iklim, kata Urip, harus dibaca dari rentetan data iklim yang panjang, tidak hanya dari satu kejadian. Namun begitu, tren kejadian suhu panas dapat dikaji dalam series data yang panjang, apakah terjadi perubahan polanya, baik magnitudo panasnya  ataupun frekuensi kejadiannya.

Baca Juga:  Jadwal Imsakiyah 23 Maret 2025 Provinsi Sultra: Kendari, Kolaka, hingga Muna

Analisis pengukuran suhu permukaan dari 92 Stasiun BMKG dalam 40 tahun terakhir menunjukkan peningkatan suhu permukaan dengan laju yang bervariasi.

Secara umum,  tren kenaikan suhu permukaan lebih nyata terjadi di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah meliputi Pulau Sumatera bagian timur, Pulau Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara yang masing-masing mengalami tren kenaikan  diatas 0.3 derajat celcius per dekade.

Laju peningkatan suhu permukaan tertinggi diketahui terjadi di Stasiun Meteorologi Temindung, Kalimantan Timur (0.95 derajat celcius per dekade), sedangkan laju terendah terdapat di Stasiun Meteorologi Sultan Muhammad Salahuddin, Bima (0.01 derajat celcius  per dekade). Suhu udara permukaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya meningkat dengan laju 0.40 – 0.47 derajat celcius per dekade.

Baca Juga:  Jadwal Imsakiyah 19 Maret 2025 untuk Kabupaten dan Kota di Sultra

“Dari contoh analisis ini, disimpulkan bahwa kejadian suhu udara panas kali ini memang dipengaruhi oleh faktor klimatologis yang diamplifikasi oleh dinamika atmosfer skala regional dan skala meso inilah yang menyebabkan udara terkesan menjadi “lebih sumuk” dan kemudian menimbulkan pertanyaan bahkan keresahan (selain kegerahan) publik,” kata Urip, melansir laman BMKG, Selasa (3/1/2023).

Namun, BMKG sekali lagi juga meyakinkan bahwa kondisi ini bukanlah termasuk kondisi ekstrim yang membahayakan seperti gelombang panas “heatwave”, meskipun masyarakat tetap dihimbau untuk menghindari kondisi dehidrasi dan tetap menjaga kesehatan.**