KENDARI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari mengecam dan menolak keras klarifikasi berupa isi siaran pers Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) yanh dirilis melalui Biro Administrasi tertanggal 22 Oktober 2025.

AJI menilai siaran pers tersebut hanya berisi pembenaran atas kekerasan terhadap jurnalis Fadli (MetroTV) oleh ajudan Gubernur Sultra saat melakukan wawancara di Aula Bahteramas, Selasa (21/10/2025).

“Siaran pers tersebut tidak hanya mengaburkan fakta kekerasan yang terjadi, tetapi juga berpotensi membangun persepsi keliru dengan menyudutkan jurnalis yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya,” ujar Ketua AJI Kendari, Nursadah melalui keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).

Berdasarkan kesaksian korban dan sejumlah jurnalis lain di lokasi, Fadli mengalami tindakan didorong dan alat liputannya (ponsel) dipukul oleh ajudan Gubernur Sultra ketika mencoba meminta klarifikasi terkait pelantikan seorang pejabat berstatus mantan narapidana korupsi.

“Tindakan tersebut jelas merupakan bentuk kekerasan dan penghalangan kerja jurnalistik, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” bebernya.

AJI Kendari pun memberi analisisnya terhadap siaran pers Pemprov Sultra tersebut.

  • Nada defensif dan pembenaran.

Pemprov Sultra berupaya mengaburkan inti persoalan dengan menyebut tidak ada penghalangan kerja jurnalistik dan tidak ada kekerasan. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan adanya dorongan fisik dan pemukulan terhadap alat liputan jurnalis, yang jelas merupakan bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan pers.

  • Framing yang menyudutkan jurnalis.
Baca Juga:  Pemprov Sultra Beri Klarifikasi Soal Insiden Ajudan Gubernur dan Wartawan

Penggunaan kalimat seperti “berusaha mendekati dan merangsek” memberi kesan seolah jurnalis bertindak tidak sopan. Framing semacam ini berbahaya karena dapat memutarbalikkan persepsi publik dan melemahkan posisi korban.

  • Tidak ada permintaan maaf atau tanggung jawab moral.

Pemprov hanya menyampaikan penghargaan umum terhadap profesi jurnalis, tanpa mengakui adanya pelanggaran maupun menunjukkan tanggung jawab moral atas tindakan ajudan Gubernur.

  • Penyalahgunaan istilah ‘hak jawab’.

Penggunaan istilah ini tidak relevan. Hak jawab seharusnya digunakan untuk menanggapi pemberitaan media, bukan untuk membantah laporan kekerasan tanpa klarifikasi kepada korban dan saksi di lapangan.

AJI Kendari pun menilai siaran pers Pemprov Sultra mencerminkan sikap defensif dan tidak empatik terhadap korban kekerasan, serta menunjukkan ketidakpahaman terhadap prinsip kebebasan pers.

“Pernyataan tersebut justru berpotensi menormalisasi tindakan represif terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya,” tambah Sekretaris AJI Kendari, Randi Ardiansyah.

Tentunya, ketidakhadiran permintaan maaf dan tanggung jawab moral dari Pemprov Sultra memperburuk citra pemerintah daerah di mata publik dan komunitas pers.

Baca Juga:  Ditlantas Serukan Kampanye 'Sultra Zero Knalpot Brong'

Pihak AJI pun mendesak Gubernur Andi Sumangerukka untuk bertanggung jawab atas tindakan ajudannya serta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada korban dan seluruh jurnalis.

Kedua, AJI Meminta Pemprov Sultra meninjau ulang mekanisme pengamanan dan pendampingan pejabat publik dalam kegiatan yang melibatkan jurnalis, agar tidak terjadi lagi penghalangan kerja jurnalistik.

Ketiga, menuntut Pemprov Sultra memastikan seluruh pejabat dan stafnya memahami serta menghormati UU Pers dan prinsip kebebasan informasi publik.

Keempat, mengajak seluruh organisasi profesi pers di Sulawesi Tenggara (PWI, IJTI, AMSI, SMSI, dan lainnya) untuk bersolidaritas menolak segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis.

“Kekerasan terhadap jurnalis, sekecil apa pun bentuknya, tidak dapat dibenarkan dengan alasan etika, pengamanan, atau tata krama,” tegas Randi.

AJI Kendari menegaskan dorongan fisik dan pemukulan alat liputan adalah bentuk nyata kekerasan, sekaligus penghalangan terhadap hak publik untuk memperoleh informasi.

“AJI Kendari akan terus mengawal persoalan ini sampai ada pertanggungjawaban moral dan etik dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara,” pungkasnya.

 

**