Mosehe, Ritual Penyucian yang Diyakini Dapat Menolak Bala
HaloSultra.com – Indonesia menyimpan kekhasan budaya dan tradisi masyarakatnya yang beragam, seperti halnya budaya dan tradisi yang berada di masyarakat Suku Tolaki yang mendiami jazirah Sulawesi Tenggara (Sultra).
Ritual penyucian kampung atau disebut “Mosehe” di masyarakat Tolaki sudah menjadi tradisi yang dilakukan turun-temurun sejak 13 abad lalu.
Budayawan Tolaki, Basrin Melamba menyebutkan, daratan Sultra memiliki dua kerajaan besar Tolaki, yaitu Kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (wilayah Kabupaten Kolaka) yang secara umum merupakan suku yang serumpun yang kenal sebagai Suku Tolaki-Mekongga.
Upacara adat Mosehe juga memiliki dua fungsi utama yakni fungsi penyelesaian konflik (konflik yang terutama disebabkan oleh pombetudari’a atau sumpah)
Kemudian Mosehe yang berfungsi untuk pensucian seperti yang dimaksud mensucikan negeri jika suatu negeri ditimpa berbagai masalah seperti bencana alam, gagal panen, timbulnya wabah penyakit, tidak adanya keserasian, serta keselarasan dalam kehidupan manusia sehingga menimbulkan permusuhan dan kekacauan yang dikenal dengan Mosehe Wonua.
Kepercayaan ini menjadi tradisi leluhur masyarakat Tolaki yang bertujuan agar Ombu (Tuhan Yang Maha Kuasa) berkenan menerima ritual adat tersebut dan mengijabahi permintaan dan kepentingan masyarakat banyak sehingga mendapat berkat dan rahmat dari Sang Pencipta.
Pelaksanaan ritual adat Mosehe menggunakan bahan-bahan seperti daun sirih, kapur sirih yang ditempatkan diatas tapis dan ditutup daun pisang dan kemudian oleh tokoh adat yang memimpin ritual memanjatkan permintaan-permintan dan doa.
Selanjutnya Mosehe ditutup dengan penyembelihan seokor ternak seperti sapi atau kambing yang yakini sebagai pelengkap ritual.
Ketika ternak hendak akan disembelih oleh tokoh adat Mosehe, semua masyarakat yang hadir saling berpengangan satu sama lain yang makna pemersatu untuk menghapus semua dosa-dosa.

Ritual Mosehe dan pengaruhnya dengan peradaban Islam
Masyarakat Suku Tolaki-Mekongga sebelum masuknya ajaran Islam masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan tersebut membuat masyarakat mengenal adanya tiga Sangia (Dewa) dengan entitasnya masing-masing, yakni Sangia Mbuu sebagai pencipta bumi dan isinya, Sangia Nduu sebagai pemelihara bumi dan isinya dan Sangia Molowo, sebagai pemusnah dan penghancur.
Untuk menghindari kemurkaan Sangia maka upacara adat Mosehe dilakukan dengan harapan O’ombu berkenan menerima segala permintaan demi keselamatan dan kemaslahatan orang banyak.
Sehingga pada akhir abad ke-XVII, masyarakat Tolaki-Mekongga mendapat pengaruh dari masuknya agama Islam yang menyebabkan tradisi Mosehe mengalami perubahan menjadi bernuansa Islami.
Dimana lantunan doa dan permintaan dari pemimpin ritual juga telah diwarnai dengan doa-doa sesuai tuntunan syariat Islam.
Kini ritual adat Mosehe sudah tercatat sebagai warisan budaya takbenda Indonesia pada kategori adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan. **/bs
Tinggalkan Balasan