JAKARTA – Hasil KTT ASEAN tertuang dalam 125 poin yang menunjukkan semangat pemimpin ASEAN untuk menguatkan sentralitas ASEAN sebagai solusi menciptakan kawasan yang damai, stabil, dan sejahtera.

Hal tersebut disampaikan Peneliti Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Universitas Indonesia, Yanuardi Syukur dalam keterangannya yang diterima HaloSultra.com, Minggu (14/5/2023).

Dijelaskannya, tiga poin besar yang disampaikan Presiden Jokowi —yakni perlindungan pekerja migran, implementasi ‘konsensus 5 poin’ terkait konflik Myanmar, dan penguatan kerja sama ekonomi di kawasan— adalah ejawantah dari sentralitas ASEAN tersebut.

Perlindungan pekerja migran dan keluarganya adalah apresiasi terhadap kontribusi mereka yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan. Proteksi tersebut diadopsi dari deklarasi yang telah dihasilkan sebelumnya, termasuk dalam hal ini proteksi terhadap nelayan migran.

“Perdagangan manusia juga bagian penting yang disampaikan Pak Jokowi. Sikap tegas pemimpin ASEAN untuk menindak tegas kepada pelaku perdagangan manusia sangat penting agar HAM terlindungi,” jelas Yanuardi Syukur.

Isu Myanmar

Terkait implemenasi 5PC sebagai solusi krisis Myanmar, perlu untuk dikuatkan. Karena selama dua tahun terakhir disadari bahwa 5PC itu tidak terimplementasi dengan baik. Maka, saat ini penguatan 5PC tersebut menjadi penting.

Penghentian kekerasan oleh semua pihak adalah bagian penting untuk itu. Semua pihak di Myanmar harus menyadari bahwa konflik terus-menerus hanya akan menyisakan kekaburan masa depan bangsa. Padahal, seharusnya yang mereka tekankan sekarang adalah bagaimana kepentingan rakyat itu terjamin, dan itu hanya bisa dicapai dengan penghentian kekerasan.

Dialog konstruktif juga sangat penting mereka lakukan. ASEAN dapat memainkan peran strategisnya tidak hanya dalam mengirim bantuan kemanusiaan tapi juga dalam menggiatkan dialog konstruktif bagi semua pihak.

“Sejauh ini menurut saya, penghentian kekerasan dan dialog konstruktif secara kontinyu adalah pilihan paling realistis untuk menciptakan perdamaian di Myanmar,” jelas dia.

Menghadapi rivalitas AS-China

ASEAN harus terintegrasi dalam arti sebenarnya dan sama-sama bertumbuh untuk kawasan yang damai, stabil, dan sejahtara. Rivalitas antara kedua raksasa tersebut sebaiknya tidak membuat negara-negara ASEAN terpecah, sebaliknya menjadikan ASEAN semakin terintegrasi demi visi bersama sebagai episentrum pertumbuhan.

Menurut Yanuardi, dialog antara ASEAN dengan AS dan China sangat penting untuk dilakukan secara kontinyu. Rivalitas keduanya memang terlihat mencari proksi, tapi negara-negara ASEAN seharusnya tidak menjadi proksi pada kedua raksasa tersebut.

“Saya cenderung setuju dengan pandangan Presiden Jokowi bahwa yang penting bagi kita adalah tidak menjadi proksi, tapi menjalin kolaborasi— dengan siapapun,” katanya.

“Satu hal yang menurut saya cukup penting tapi agaknya kurang diperhatikan adalah pentingnya menjalin kolaborasi tokoh agama se-ASEAN agar berkontribusi dalam menciptakan perdamaian,” sambungnya.

Kata dia, hal tersebut harus diperjuangkan, sebab urusan diplomasi tidak hanya oleh state actor, tapi juga oleh non-state actor.

“Di Indonesia banyak sekali non-state actor yang juga berkontribusi bagi perdamaian dan itu harus didukung agar bersama-sama state se-ASEAN menciptakan perdamaian abadi di kawasan ASEAN,” demikian Yanuardi. **